No. 198
Ando Girsang
Tulisan ini sangat amat menguras pikiran mengingat kebersamaanku dengan Mamak tidak intens namun aku mencoba menguraikannya walau akan ngelantur atau lari kemana-mana, ya beginilah ekspresinya. Waktu SD Mamak dan Bapak sebagai abdi negeri pergi pagi dan pulang malam. Aku sering dititipkan oleh seorang mbak yang membantu Mamak. Waktu terjadi kerusuhan 1998, aku sangat Mamak khawatirkan padahal aku sudah tidur dirumah, sedangkan Mamak bertarung nyawa dengan penumpang lain di daerah kota Jakarta karena bus Mamak mau dirusak. Aku seperti tidak takut kehilangan Mamak waktu itu. Tapi aktivitas diatas berangsur surut ketika kami pindah ke kampung Bapak. Mamak dan Bapak tidak pulang larut malam lagi. Mamak sangat cekatan dan telaten terlebih ketika bekerja diladang. Kami memiliki ladang yang tidak terlalu luas yang kami gunakan untuk menanam sayur-sayuran khas dari kampung kami. Mamak yang kuat selalu ingin melakukan pekerjaan sendiri untuk mencangkul, menanam, dan memupuk tanaman kami. Walaupun sekarang seiring berjalan waktu, Mamak tidak begitu kuat lagi melakukan semua itu. Mak, maafkan aku jika waktu itu aku paling malas membantu Mamak keladang dan sering mencari-cari alasan. Mau leslah, takut badan hitamlah. Ah, aku tertawa miris mengingat itu semua. Mamak dengan semangat tetap mau menyemprot tanaman kita dengan semangat. Mamak wanita loh, Mak. Sedangkan aku? Aku laki-laki, Mak! Tapi kok aku ‘gak mau bantu Mamak, ya? Ampuni anakmu ini ya, Mak.
Sewaktu SMP aku cukup bangga dengan prestasiku. Pikirku, aku pasti membanggakan orangtuaku. Namun saat-saat SMP lah kenakalan remaja mulai mempengaruhi. Bohong salah satunya. Malah aku pernah berbohong telah mencuri uang Bapak dari meja. Dan Mamak terlihat tidak tega ketika aku disambit pake tali pinggang oleh Bapak ketika aku ketahuan mencuri dan bohong. Mak, rupanya prestasi di sekolah tidak cukup berpengaruh dengan ‘prestasi’ku di rumah ya. Mamak yang selalu membelaku walau kutahu itu tidak perlu karena memang aku yang bersalah. Oia, aku teringat dengan moment ulangtahunku. Waktu itu aku ingin sekali merayakan ulang tahun. Namun karena kita tidak punya cukup uang untuk merayakannya, Mamak berinisiatif agar aku tetap mengundang teman-temanku. Dan Mamak memasak mie instan goreng kesukaan beserta telur dadar. Sedikit kecewa dengan itu tapi aku senang, Mamak tetap mampu memanjakanku walau hanya memanjakan lidah. Tapi kan, Mak, aku selalu bertanya mengapa aku seperti terlalu dikekang ya? Apa mungkin karena aku anak laki-laki satu-satunya? Masa, aku mau perpisahan dengan teman-teman SMP ke salah satu objek wisata terkenal di daerah kita aja ‘gak Mamak bolehkan? Namun sekali lagi, aku disadarkan, Mamak pasti menginginkan yang terbaik buat anak-anaknya dan tidak ingin terjadi sesuatu hal terhadap anak-anaknya.
Tau ‘gak, Mak? Aku senang sekali loh ketika tahu aku lulus di SMA Plus. Dan Mamak yang aku suruh untuk melihat pengumumannya. Semoga saat itu Mamak berbangga melihat aku bisa tembus di SMA Plus. Ya, walau akan masuk asrama dan kita akan kehilangan moment bersama setidaknya Mamak bangga dengan prestasi kecilku ini. Sejak SMA aku sudah masuk asrama dan sekali sebulan pulang kerumah. Kita tidak terlalu dekat menurutku. Tapi aku sangat merasakan doa-doa Mamak. Setelah aku ketahui ternyata aku tidak cukup pintar. Aku hanya bisa meraih rangking 30an dari 40 siswa di SMA. Ampuni aku ya, Mak telah mengecewakanmu. Memang aku kurang maksimal dalam belajar, karena di SMA ini sangat ter-press sekali belajarnya loh, Mak. Dan bersyukurnya aku, Mamak selalu ingat memberikan susu atau nutrisi tambahan buatku ketika aku pulang kerumah. Kebaikan kecil yang sering tidak kuhargai bahkan keseringan kutuntut. Dan keluarga kita memang ‘tercipta’ sebagai keluarga yang cuek. Cuek dalam mengungkapkan rasa sayang. Aku jarang menelpon sewaktu SMA karena memang tidak diperbolehkan membawa handphone atau alat komunikasi waktu itu. Hal-hal yang kurindu kalau pulang kerumah ya pasti masakan Mamak yang cocok dilidahku dan pijatan yang cocok untuk badanku. Jahatnya aku, justru aku lebih merindukan masakan dan pijatan Mamak ketimbang Mamak sendiri. Maaf ya, Mak.
Beranjak kuliah pun Mak, aku semakin diubahkan untuk melakukan pelayanan pribadi kepada orangtua. Walau sampai saat ini perlahan aku lakukan karena intensitas bertemu kita hanya bisa 3 kali dalam setahun, itupun kalau aku niat pulang ke rumah dengan jarak dari rumah kita ke tempatku sekarang yang harus ditempuh 12 jam dan bermalam. Aku malas pulang kerumah dengan alasan itu. Jahat kali aku ya, Mak dengan alasan itu?
Ditengah duka selalu ada pengharapan, ada senyum walau cemas melanda. Begitulah salah satu karakter Mamak, wanita yang sudah melahirkan dan membesarkanku. Karakter ini yang juga ikut membesarkanku dan memberi semangat tersendiri. Terlebih ketika Bapakku terserang penyakit penyempitan jantung, Mamak dengan setia merawat Bapak meskipun Bapak dengan karakter yang mudah tersulut emosi yang ketika permintaannya mendapat slow respon atau tidak terpenuhi. Terimakasih ya, Mak telah merawat Bapak. Mamak yang terkadang kesal pun tetap mau merawat Bapak. Mak, aku belajar banyak tentang kesabaran dalam situasi seperti ini. Entahlah mungkin kadang tidak ikhlas, namun dengan tetap mengerjakannya akan berhasil menyenangkan orang lain. Ini sesuatu hal yang penting. Terimakasih untuk teladan tindakan ini yang selalu ada. Aku minta maaf untuk setiap tekanan-tekanan nada suara yang keluar dari mulutku yang seakan membentakmu, Mak. Kita sebagai orang Batak terkenal dengan tekanan nada suara yang keras namun sebenarnya tidak menunjukkan itu J. Terimakasih, Mak, untuk motivasimu yang sangat membangun disaat ini aku masih menjadi jobseeker. Sejujurnya, aku agak malas ketika harus menelepon atau ditelepon Mamak dan Bapak akhir-akhir ini. ya, karena itu tadi, aku masih pengangguran. Bahkan masih meminta kiriman. Aku malu. Namun entah kenapa Mamak seakan tidak rela untuk memutuskan langsung uang kiriman ketika aku sudah di wisuda sekalipun. Mamak takut kamu ‘gak makan disana, Nak, itu alasan Mamak suatu kali. Kadang aku berpikir Mamak menyelepekan aku karena masih dikirimi uang setelah lulus kuliah namun aku meyakini Mamak pasti hanya menginginkan hal terbaik untuk anaknya. Bahkan aku sendiri sering melarang kakak untuk meminta uang dari Mamak karena memang gaji kakak waktu itu sangat kecil. Aku seolah yang akan mengatur keuangan kalian, Mak. Ya ampun, Mak. Aku sulit menuliskan semua ini karena aku sadar masih ada hal belum aku ketahui dari Mamak. Bahkan aku belum bisa menceritakan dari hati ke hati tentang wanita yang akan menjadi calon menantu Mamak. Hehehe, memang masih dalam masa pencarian loh, Mak. Jadi aku bukannya ‘gak mau mensharingkannya ke Mamak. Oia, aku sudah mulai belajar loh mengungkapkan kasih. Sewaktu Mamak ulang tahun dan hari Ibu, aku sudah ucapin kan? J semoga kita bisa semakin hangat ya, Mak. Terimakasih telah menjadi Mamak dan isteri yang hebat dalam kehidupan kami. Pernah sih aku bertanya, Mamak minta dibeliin atau dikasih apa dihari-hari spesial Mamak? Jawaban Mamak selalu bikin terharu, asal kita sehat-sehat dan saling mendoakan saja, buat Mamak itu lebih dari cukup. Hiks... aku terharu, Mak. Mamak tidak pernah menuntut apa-apa dari kami. Cukup dengan saling mendoakan. Mamak memang hebat. Dan kerutan halus di wajahmu kiranya mengingatkan kami untuk setia memperjuangkan hidup yang selalu Mamak perjuangkan. Untuk generasi kami kelak. Mak, I miss you :)
* Untukmembaca karya peserta lain silahkan menuju akun Fiksiana Community (sertakanlink akun Fiksiana Commnuity sebagai berikut ini :http://www.kompasiana.com/androgini
* Silahkan bergabung di group FB Fiksiana Community:http://www.facebook.com/groups/175201439229892/
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H