Jepang memasuki Indonesia, semua tempat mengalami sidak dan banyak sekali penangkapan oleh pihak Jepang. Pearl Harbor menjadi saksi bisu bagi kekejaman Jepang pada tanggal 8 Desember 1941. Sekolah-sekolah katolik ditutup, termasuk seminari menengah. Para Imam, suster dan tenaga gereja banyak yang ditangkap dan dibawa ke interniran.
Saya bukan orang Katolik namun saya memberikan apresiasi terhadap perjuangannya membela kemerdekaan Indonesia, dan sosok kepemimpinanya pada masa kritis penuh intimidasi di ujung tanduk kepemimpinanya sebagai uskup di Indonesia. Sikapya terlihat sekali saat mempertahankan gereja Randusari ingin dialih fungsikan menjadi basecamp tentara Jepang. Beliau dengan lugas melawan Jepang bahwasanya "Ini adalah tempat yang suci, saya tidak akan memberi izin, penggal dulu kepala saya maka tuan baru boleh memakainya".
Menurut Ahli sejarah (Gonggong 2012, hlm.82) pada tanggal 21 Juli 1947, Soegijapranata, melalui sebuah pidato di radio RRI menyatakan bahwa orang-orang Katolik akan bekerja sama dengan pejuang Indonesia. Beliau mempertegas jalan perjuanganya untuk Indonesia, agar menjadi 100% Katolik dan 100% Indonesia.
Soegijapranata juga banyak menulis kepada Tahta Suci, yang menanggapi surat-surat Soegijapranata dengan mengirim Georges de Jonghe d'Ardoye sebagai duta ke Indonesia; ini membuka jalur diplomasi antara Vatikan dan Indonesia. D'Ardoye tiba di wilayah Republik pada bulan Desember 1947 dan bertemu dengan Presiden Soekarno. Dikutip dari (Subanar, 2005, hlm. 79).
Selama Belanda menguasai Yogyakarta Soegijapranata dapat mengirim beberapa tulisannya ke luar negeri; tulisan ini, yang dimuat di majalah Commonweal, mendetail kehidupan sehari-hari orang Indonesia di bahwa kekuasaan Belanda dan menggugat agar masyarakat internasional mengutuk Belanda (Gonggong 2012, hlm. 90--92).
Begitu melawanya dia terhadap penindasan kemanusiaan, bahkan dengan harus melepas jabatnya Uskupnya, sekalipun kepalanya harus terpisan dari badanya. Teladan yang harus kita apresiasi betul.Â
Sejatinya setiap Agama itu memiliki iman yang berbeda, namun benar yang dikatakan Thomas Aquinas, bahwasanya kodrati manusia dalam haknya harus dibela, tanpa memikirkan agamanya, warna kulitnya.Â
Tidak ada manusia yang ingin disakiti, maka jangan menyakiti orang lain. Untuk hal seperti itu kita tidak perlu belajar terlebih dahulu hingga setingkat Profesor bukan?.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H