"Mengapa sejauh ini kampus kita tidak mengadakan seminar tentang tantangan dan strategi profesi guru di masa akan datang padahal notabene kami adalah mahasiswa yang kelak bergelar sarjana pendidikan?"
Itulah satu pertanyaan yang saya sampaikan pada kuliah umum di depan dosen dan teman-teman yang lain.
Dosen saya saat itu membahas kritik yang saya sampaikan, bahwa poin intinya adalah mahasiswa harus explore informasi bahwa banyak seminar dan forum yang bisa membantu mereka dalam melengkapi komptensi dan setskill untuk menjadi guru di masa yang akan datang. Saya sepakat dengan beliau (Jika tulisan ini dibaca oleh beliau, saya ucapkan terimakasih telah bersedia mendiskusikan pertanyaan dan kritik saya).
Namun, disisi lain saya masih merasa geram dengan alasan yang melatarbelakangi kritik saya tadi. Sejauh yang saya ketahui, tidak ada diskusi maupun seminar umum yang diselenggarakan oleh kampus maupun universitas, yang membahas profesi guru ke depan beserta tantangan perubahan yang katanya di era 4.0.
Kita boleh bersepakat bahwa kami sebagai mahasiswa harus rajin mencari informasi, memperlengkapi diri dan juga mengikuti beragam seminar dan diskusi tentang pendidikan dalam rangka memenuhi kompetensi kami sebagai guru di masa yang akan datang. Tapi saya rasa, kampus beserta dosen yang juga sebagai fasilitator, seyogianya memberi kami fasilitas untuk bertemu di dalam satu diskusi ataupun seminar yang membahas tentang apa dan bagaimana tantangan dan strategi yang harus kami miliki dalam mengarungi dunia pendidikan sebagai seorang guru yang professional kelak.
Apakah tentang sarjana kependidikan tidak terlalu menarik untuk dibahas? Atau apakah dalam perkembangan teknologi, kita dapat berhipotesa bahwa profesi guru sudah mulai tidak digandrungi? tentu idak.
Data yang termuat di majalah dikti volume 3 tahun 2013, jumlah mahasiswa kependidikan mencapai 1.440.770 orang. Tentu statistik ini  mematahkan asumsi bahwa minat menjadi guru itu rendah. Dengan jumlah mahasiswa 1,44 juta maka diperkirakan lulusan sarjana kependidikan  adalah sekitar 300.000 orang pertahun. Padahal kebutuhan guru guru hanya sekitar 40.000, artinya akan ada gap yang sangat besar.
Guru adalah profesi vital yang menjalankan pendidikan di lapangan. Dengan begitu pentingnya guru, sehingga 25 Nopember setiap tahun diperingati sebagai hari guru di Indonesia yang kemudian tanggal tersebut direfleksikan untuk menunjukkan apresiasi dan penghargaan kepada guru.
Tantangan kami di dalam dunia kerja sehabis kuliah, bukan hanya beradu kompetensi dengan sesama manusia, namun juga dengan robot dan algoritma yang sebagai tanda era digitalisasi. Digitalisasi juga pelan-pelan merambat ke dunia pendidikan, pelan tapi pasti memberlakukan "hukum alam, siapa yang bisa beradaptasi dialah yang bertahan". Poin adaptasi itulah yang kami butuhkan untuk dibahas secara komprehensif di dalam kampus.
Di dalam buku 21 Lessons, Harari menjelaskan bahwa "robot dan algoritma tidak harus sempurna, ,mereka hanya harus lebih baik daripada manusia rata-rata". Ini mungkin bisa dikaitkan dengan program merdeka belajar yang sedang ramai dibahas beberapak waktu lalu terutama di kalangan kependidikan. Apakah kami, mahasiswa harus mengexplore semuanya sendiri dengan sumber informasi yang tersedia di zaman canggih ini? Jika iya, dimana letak eksistensi para pendidik? Saya berharap lebih dari hanya menjadi pemberi stimulus.
Persoalan dimana letak eksistensi pendidik ini pulalah yang jika tidak didiskusikan dengan baik akan menjadi warisan persoalan bagi kami sarjana kependidikan di masa yang akan  datang. Di satu sisi kami perlu peka dan adaptif pada perkembangan zaman, disisi lainnya kami perlu memikirkan eksistensi kami sebagai guru ditengah era digitalisasi.