Mohon tunggu...
Agil Septiyan Habib
Agil Septiyan Habib Mohon Tunggu... Freelancer - Esais; Industrial Profiling Writer; Planmaker; Founder Growthmedia, dapat Dikunjungi di agilseptiyanhabib.com

Grow Smarter Everyday

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Paradoks "Cancel Culture", Ketika Moralitas Terjebak dalam Dialektika Digital

10 Februari 2025   13:48 Diperbarui: 11 Februari 2025   10:26 293
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di dalam dunia yang semakin terhubung oleh digitalisasi, "cancel culture" telah menjadi fenomena yang mengguncang sisi-sisi kehidupan sosial kita. Di satu sisi, hal ini merupakan wujud ekspresi dari suatu upaya menegakkan nilai-nilai moral dan etika di ruang publik. Tapi, di sisi lain, ada kecenderungan bahwa cancel culture justru menjadi bentuk baru dari ketidakmampuan kita untuk menoleransi perbedaan dan atau kesalahan.

Situasi tersebut seakan mengarahkan kita pada sebuah pertanyaan besar tentang seperti apa batasan dari kebebasan berekspresi dengan bagaimana moralitas berkembang di dalam era digital ini.

Cancel culture, mungkin bukanlah fenomena baru. Namun, dalam bentuknya yang paling kuat saat ini, khususnya di media sosial, cancel culture lebih sering dipandang sebagai alat untuk "menghukum" individu atau kelompok tertentu yang dianggap telah melanggar norma sosial.

Namun, di balik semua itu, ternyata malah muncul satu paradoks yaitu kita berusaha untuk membangun moralitas yang lebih baik melalui tindakan penghapusan atau pembungkaman. Apakah tujuan untuk menegakkan moralitas akan tercapai melalui pengorbanan kebebasan berbicara dan berpendapat?

Filsuf dan penulis asal Jerman, Friedrich Nietzsche, pernah mengatakan "He who fights with monsters should look to it that he himself does not become a monster." (Dia yang berperang dengan monster, harus berhati-hati agar tidak menjadi monster itu sendiri.)

Dalam hal ini kita harus ingat bahwa meskipun kita sedang berjuang untuk melindungi moralitas dan etika melalui cancel culture, kita tetap harus waspada agar tujuan tersebut tidak sampai membuat kita terperangkap dalam cara-cara yang justru merusak prinsip kebebasan yang selama ini kita hargai.

Jangan sampai dalam upaya menegakkan kebenaran, kita malah jatuh ke dalam jebakan untuk menghukum, memfonis, dan menindas orang lain.

Fenomena ini menyiratkan bahwa moralitas kita, meskipun penting, seringkali terjebak dalam kontradiksi di dunia digital. Kebebasan berpendapat yang sejatinya merupakan hak dasar manusia justru terganggu dengan kehadiran algoritma yang secara selektif memilih mana yang "layak" untuk dilihat dan mana yang harus disingkirkan.

Dalam beberapa kasus, cancel culture justru menghilangkan peluang untuk berproses dan belajar dari kesalahan. Sebuah hal yang sebenarnya esensial dalam proses perkembangan manusia menjadi pribadi yang lebih matang dan bijaksana.

Di sinilah kita perlu merenung, apakah kita telah benar-benar bisa menegakkan moralitas dengan mengabaikan ruang untuk pertumbuhan dan pemahaman yang lebih dalam bagi oarang-orang di sekitar? 

Batas Kebebasan Berekspresi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun