Sedikit melakukan kilas balik, pada tahun 2018 yang lalu, dunia menyaksikan bagaimana perang dagang terbesar dalam sejarah modern antara Amerika Serikat (AS) dan China terjadi. Ketegangan itu bukan sekadar urusan tarif impor dan ekspor semata, melainkan juga pertempuran supremasi di ranah teknologi. Mulai dari jaringan 5G hingga semikonduktor, dari media sosial hingga kecerdasan buatan.
Di satu sisi, Amerika takut China bangkit, sementara di sisi yang lain China sangat berambisi untuk tidak hanya menjadi pabrik dunia. Mereka ingin menjadi negara adidaya yang mengangkangi AS di semua tatanan. Dan kini perlombaan baru itu pun kembali dimulai, yakni perihal siapa yang akan menjadi penguasa AI.
Di sudut biru, ada OpenAI dengan ChatGPT-nya, yang didukung oleh Microsoft dengan dana miliaran dolar. Sedangkan di sudut merah, China tak mau ketinggalan. Mereka meluncurkan DeepSeek sebagai salah satu kandidat utama dalam revolusi AI berbasis model bahasa besar. Mereka berebut pengaruh, mempercepat inovasi, bahkan bersiap menulis ulang aturan main ekonomi digital global.
Pertarungan sudah mulai berlangsung, dan kita bisa melihat saham NVIDIA anjlok cukup dalam beberapa waktu lalu pasca tinju yang dilayangkan oleh China dengan DeepSeek-nya tepat mengenai "pelipis" sang lawan.
AS dengan kehadiran presiden baru (tapi lama), Donald Trump, yang tidak lain merupakan dedengkot utama perang dagang kedua negara yang terjadi tahun 2018 lalu pasti tidak akan tinggal diam. Entah apa langkah "balasan" yang sudah disiapkannya untuk Make America Great Again.
Sebenarnya, kalau mau jujur, kita tidak perlu terlalu risau dengan pergulatan dua negara adidaya tersebut. Justru inilah yang mesti kita khawatirkan. Di mana posisi Indonesia?
Ah, sepertinya kita masih sibuk memperdebatkan revisi kurikulum, mencari solusi soal angka pengangguran, antrian gas LPG 3 kilogram, dan meributkan apakah internet harus dipasangi lebih banyak sensor atau tidak.
Sementara dunia terus berlari kencang, kita seperti bersepeda ontel dengan rantai yang sering lepas. Lebih lucunya lagi, kita justru lebih sering menjadi pasar daripada pemain, lebih suka mengimpor teknologi ketimbang menciptakannya. Ketika negara lain asyik berlomba, kita cuma melongo tidak berdaya.
 Mungkin ini saatnya (kembali) bertanya, kapan kita benar-benar ikut serta dalam permainan?