Mohon tunggu...
Agil Septiyan Habib
Agil Septiyan Habib Mohon Tunggu... Esais; Industrial Profiling Writer; Planmaker; Founder Growthmedia, dapat Dikunjungi di agilseptiyanhabib.com

Grow Smarter Everyday

Selanjutnya

Tutup

Artificial intelligence Artikel Utama

DeepSeek vs ChatGPT, di Mana Posisi Indonesia dalam Revolusi AI?

8 Februari 2025   09:26 Diperbarui: 9 Februari 2025   10:20 824
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ChatGPT vs DeepSeek, Dimana Posisi Indonesia? | Ilustrasi gambar : bbc.com / Geety Images

"A mind that is stretched by a new experience can never go back to its old dimensions." -- Oliver Wendell Holmes Jr.

(Pikiran yang telah berkembang oleh pengalaman baru tak akan pernah kembali ke batas lamanya.)

AI bukan lagi sekadar fiksi ilmiah. Ia sudah ada di tengah kita, mengubah cara bekerja, belajar, bahkan berpikir. ChatGPT dengan segala kecanggihannya telah menjadi asisten pribadi bagi jutaan orang, sementara DeepSeek muncul dengan ambisi yang lebih besar yaitu menghadirkan AI yang lebih cepat, lebih cerdas, dan lebih murah bagi industri China.

Dengan dukungan modal dan data yang melimpah, model-model AI China mulai mengejar ketertinggalan, bahkan dalam beberapa aspek mulai menyalip.

Namun, AI bukan hanya urusan dua negara adidaya. Uni Eropa bergerak dengan regulasi ketatnya, India mulai membangun ekosistem AI-nya sendiri, dan negara-negara kecil seperti Estonia pun tak mau ketinggalan.

Indonesia? Mmmhhh, kita masih sibuk berdebat apakah AI akan menggantikan pekerjaan manusia, padahal pekerjaan yang paling berisiko digantikan AI justru yang masih banyak ditekuni di sini. Apa itu? Iya, pekerjaan repetitif tanpa inovasi.

Kita punya mimpi besar soal ekonomi digital, tetapi seringkali lebih banyak yang menjadi pengikut ketimbang inovator. Startup lokal yang sukses pun lebih sering dicaplok perusahaan asing sebelum benar-benar tumbuh besar.

Ironisnya lagi, kita sebenarnya memiliki semua bahan baku yang diperlukan, mulai dari populasi muda yang besar, pengguna internet yang masif, dan pasar digital yang terus berkembang. Namun, Semua potensi itu sepertinya tidak digubris samasekali. Entah siapa yang salah disini.

Salah satu tantangan terbesar penghambat perkembangan AI di Indonesia adalah ekosistem. Amerika Serikat punya Silicon Valley, China punya Shenzhen. Sementara kita? Kita masih meributkan soal akses internet di pedesaan.

Perusahaan AI butuh akses ke data besar, infrastruktur komputasi, dan tenaga ahli. Tanpa semua itu, kita hanya akan menjadi pengguna setia ChatGPT atau DeepSeek, bukan pencipta AI kelas dunia.

Kesempatan di Tengah Tantangan

Tapi tidak semuanya suram kok. Indonesia punya potensi besar dalam pengembangan AI di sektor tertentu, seperti agrikultur, layanan finansial, dan pemerintahan digital. Dengan pendekatan yang tepat seperti investasi dalam riset, regulasi yang proinovasi, dan dorongan untuk membangun produk sendiri maka bukan tidak mungkin kita bisa mengejar ketertinggalan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Artificial intelligence Selengkapnya
Lihat Artificial intelligence Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun