Mohon tunggu...
Agil Septiyan Habib
Agil Septiyan Habib Mohon Tunggu... Freelancer - Esais; Industrial Profiling Writer; Planmaker; Founder Growthmedia, dapat Dikunjungi di agilseptiyanhabib.com

Grow Smarter Everyday

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Kontrak Emosional, Ketika Negosiasi Menyelamatkan Hubungan Dua Sejoli

24 Januari 2025   13:25 Diperbarui: 24 Januari 2025   13:25 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hubungan bukan semata soal perasaan. Hubungan adalah perpaduan antara seni komunikasi dan juga strategi, seperti sebuah kontrak bisnis yang membutuhkan negosiasi matang serta pendekatan rasional agar tetap harmonis.

Namun, seringnya kita lupa bahwa komunikasi dua arah adalah fondasi yang menentukan kualitas relasi. Tanpa terjadinya dialog yang setara, kemungkinan besar suatu hubungan akan berubah menjadi konflik.

Pada saat kita memikirkan negosiasi, maka gambaran yang muncul biasanya adalah meja rapat, angka-angka, dan aktivitas tawar-menawar. Tapi, tahukah Kamu kalau negosiasi itu sebenarnya adalah inti dari komunikasi sehari-hari.

William Ury, seorang ahli negosiasi dan penulis buku Getting to Yes, pernah berkata, "The biggest obstacle in negotiation is not the other person, it's our own reaction." (Hambatan terbesar dalam negosiasi bukanlah orang lain, melainkan reaksi diri kita sendiri).

Pernyataan tersebut terlihat sederhana, namun sebenarnya cukup relevan dengan dinamika emosional di dalam sebuah hubungan. Kemampuan mengelola reaksi adalah kunci untuk memahami pasangan kita.

Lantas bagaimana jika kita mulai memandang hubungan sebagai suatu proses negosiasi terus-menerus,dengan kedua belah pihak sama-sama menjadi pendengar aktif?

Komitmen dan Empati

Dalam sebuah hubungan, komitmen bukanlah sekadar janji yang diucapkan, melainkan tindakan nyata yang berulang setiap hari. Ada sebuah studi dari Journal of Social and Personal Relationships yang menunjukkan bahwa pasangan dengan tingkat empati tinggi cenderung lebih mampu menyelesaikan konflik tanpa merusak hubungan.

Hal ini membuktikan bahwa negosiasi emosional yang sukses membutuhkan empati sebagai inti. Karena dengan empati kita dapat memahami kebutuhan pasangan, bukan sekadar mendengarkan permintaannya saja.

Namun, empati bukan berarti mengorbankan diri tanpa batas. Di sinilah konsep win-win solution diperlukan. Apabila salah satu pihak terus-menerus mengalah, maka hubungan akan menjadi tidak seimbang. Layaknya kontrak bisnis yang sehat, maka negosiasi emosional juga harus memberi keuntungan bagi kedua belah pihak.

Sebagai contoh, jika Kamu merasa waktu berkualitas bersama pasangan dirasa kurang atau terlalu sedikit, maka negosiasikanlah jadwal dengan cara yang adil. Bicarakan hal ini bukan semata tentang siapa yang benar atau salah, tetapi bagaimana supaya kebutuhan untuk menghabiskan waktu bersama dapat terpenuhi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun