Riuhnya kontroversi tentang pagar laut ilegal di perairan Tangerang belakangan ini tidak hanya menjadi topik perbincangan hangat di media nasional, akan tetapi juga menjadi gambaran nyata masih adanya ketimpangan sosial di masyarakat kita.
Di satu sisi, ada pihak-pihak yang berlomba mengeksploitasi ruang laut demi kepentingan ekonomi, bahkan sampai menghalalkan segala cara. Sementara di sisi lain, nelayan lokal yang menggantungkan hidup dari laut harus berjuang menghadapi dampa atas tindakan yang samasekali tidak mereka lakukan.
Pemasangan pagar laut sepanjang lebih dari 30 kilometer ini, yang konon perihal izinnya masih penuh tanda tanya, tentu menimbulkan banyak sekali pertanyaan. Apakah negara kita ini benar-benar masih memiliki kepedulian pada kesejahteraan nelayan? Atau justru membiarkan ketimpangan tersebut semakin melebar?
Seperti yang dikatakan oleh filsuf Perancis Jean Jacques Rousseau, "Man is born free, and everywhere he is in chains." (Manusia lahir bebas, tetapi di mana-mana ia terbelenggu.) Dalam hal ini, belenggu tersebut adalah pagar laut . Sebuah simbol eksploitasi ruang publik yang menjadi alat pembatas akses nelayan terhadap sumber daya laut yang seharusnya menjadi hak mereka.
Â
Laut yang Dibatasi
Bagi para nelayan di Tangerang, laut lebih dari sekadar ruang kerja. Laut adalah sumber kehidupan mereka, tempat untuk mencari nafkah bagi keluarga dan melestarikan tradisi keluarga turun-temurun.
Namun, seiring kehadiran pagar laut ilegal ini maka hal itu telah merampas sebagian besar akses mereka ke wilayah perairan yang kaya ikan. Batas-batas ruang laut diubah demi kepentingan pribadi atau bisnis para konglomerat tak tahu adat. Alhasil, nelayan lokal pun terpaksa kehilangan hak mereka yang paling mendasar.
Gegara hal itu, tidak sedikit dari para nelayan ini yang mesti menempuh jarak lebih jauh untuk mencari ikan. Mau tidak mau hal itu akan menambah biaya operasional dan waktu kerja mereka.
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) melaporkan bahwa dampak dari pagar laut ini bukan hanya pada ekonomi nelayan, tetapi juga pada ekosistem laut itu sendiri. Ruang perairan yang semestinya menjadi tempat berkembang biaknya biota laut kini terganggu oleh pagar-pagar tak bertuan karena para otak utama penanam pagar tersebut seolah bersembunyi dibalik ketiaknya.
Lebih ironisnya lagi, pemerintah daerah setempat ramai-ramai cuci tangan dengan dalih tidak tahu. Padahal, bukan tidak mungkin uang perizinan itu sudah masuk ke kantong pribadinya. Hal ini menunjukkan bagaimana kepentingan ekonomi sering kali mendahului kebutuhan ekologis dan sosial.
Kasus pagar laut ini adalah potret ketimpangan sosial dalam bentuknya yang paling kentara. Di satu sisi, ada pihak-pihak dengan modal besar yang mampu memengaruhi kebijakan serta mengeksploitasi ruang publik. Tapi di sisi yang lain, ada masyarakat nelayan yang tidak memiliki kekuatan politik maupun ekonomi untuk melawan.
Ada lebih dari 70% nelayan kecil di Indonesia berada dalam kondisi ekonomi yang rentan, menurut analisis data dari LIPI. Dan, kasus di Tangerang ini hanyalah satu dari sekian banyak bukti bahwa mereka sering menjadi pihak yang paling dan seringkali dirugikan.