Ketika kecil dulu saya pernah membaca sebuah buku yang di dalamnya terdapat sebuah gambar menarik perhatian, yakni gambaran seorang pria yang duduk di depan alat pemintal kapas, ditemani ilustrasi pabrik-pabrik tua dengan cerobong asap mengepulkan uap ke langit.Â
Waktu itu, saya berpikir "Wow, betapa modernnya kehidupan di zaman itu ya!" Tapi kini, ketika duduk di depan layar laptop dengan kecerdasan buatan menyarankan langkah selanjutnya, saya tersenyum kecil. Ternyata dunia telah berjalan begitu jauh.
Â
***
Era revolusi industri dimulai dengan mesin uap (Industri 1.0), kemudian melangkah menuju tenaga listrik dan produksi massal (Industri 2.0), lalu bergeser lagi ke digitalisasi (Industri 3.0), hingga mencapai otomatisasi canggih berbasis teknologi  di  era Industri 4.0.
Namun, apa yang sedang kita hadapi berikutnya (atau bahkan sudah mulai terjadi sekarang) bukanlah sekadar "versi upgrade" dari pendahulunya. Ia adalah lompatan besar yang tidak hanya mengubah cara kita bekerja, tetapi juga memaksa kita memikirkan kembali arti dari menjadi manusia.
Bayangkan, dalam Industri 4.0, teknologi adalah pusat perhatian, seperti para robot bekerja di pabrik, big data menganalisis pola pasar, dan Internet of Things menghubungkan dunia dalam satu klik.
Namun, Industri 5.0 mengajak kita untuk menggeser fokus itu. Kini, manusia kembali menjadi pusat. Dalam visi ini, teknologi dirancang untuk mendukung nilai-nilai kemanusiaan, bukan menggantikannya.
Tantangannya bukan lagi "bisakah teknologi melakukan ini?" melainkan "bagaimana teknologi membantu manusia agar lebih baik dalam melakukannya?"
Dari Uap ke Otak Digital
Perjalanan revolusi industri telah dimulai sejak abad ke-18, saat mesin uap menciptakan gelombang baru dalam produksi tekstil. Ini adalah era Industri 1.0, masa di mana tenaga manusia dan hewan mulai digantikan oleh mesin. Lalu datanglah listrik, yang memungkinkan produksi massal pada Industri 2.0. Era ini membawa pabrik ke skala yang belum pernah terlihat sebelumnya.
Kemudian, dunia mulai mengenal komputer dan otomasi. Industri 3.0 adalah permulaan dari digitalisasi besar-besaran. Segala sesuatu yang analog berubah menjadi digital. Namun, revolusi tidak berhenti di situ saja. Pada tahun 2010-an, Industri 4.0 memperkenalkan kita pada konsep seperti IoT, kecerdasan buatan, dan otomatisasi canggih.
Tapi ada satu masalah besar di sini, yaitu di manakah peran manusia di tengah gemuruh teknologi ini?
Industri 5.0 menjawab keresahan tersebut. Menurut artikel From Industry 4.0 to Industry 5.0 di International Journal of Production Research, era ini menekankan kolaborasi antara manusia dan mesin. Teknologi dirancang bukan hanya untuk efisiensi, tetapi juga untuk keberlanjutan dan kesejahteraan manusia.
Mengapa Industri 5.0 Berbeda?
Industri 5.0 bukan sekadar kelanjutan, melainkan transformasi besar. Menurut Technovation dalam artikelnya, Sustainable Innovation in Industry 5.0 peran manusia dalam proses industri tidak lagi sekadar sebagai operator atau pemantau, tetapi juga sebagai mitra kolaboratif teknologi.
Contohnya, cobot atau collaborative robots yang bekerja bersama manusia di pabrik untuk meningkatkan efisiensi dan keamanan.
Namun, tidak semua orang menyambut era ini dengan riang gembira. Ada kekhawatiran bahwa model bisnis akan menjadi terlalu kompleks untuk dijangkau oleh perusahaan kecil.
Dalam Journal of Business Strategy, konsep human centric business models disebutkan sebagai kunci agar industri ini tetap inklusif. Dengan menempatkan manusia di pusat strategi, Industri 5.0 menggarisbawahi pentingnya keseimbangan antara inovasi dan empati.
Untuk memahami dampaknya, mari kita lihat ilustrasi sederhana. Yakni sebuah toko daring yang menggunakan AI untuk menganalisis kebiasaan belanja pelanggannya.
Di Industri 4.0, sistem akan memberikan rekomendasi produk berdasarkan data. Namun, di Industri 5.0, AI bekerja lebih personal dengan membantu pelanggan menemukan produk yang sesuai dengan nilai mereka, misalnya produk ramah lingkungan atau buatan lokal.
Apakah Kita Siap?
Pertanyaan terbesarnya adalah apakah kita siap untuk menghadapi era Industri 5.0?
Jawabannya sangat bergantung pada bagaimana kita merespons tantangan ini. Pendidikan dan pelatihan ulang menjadi kunci untuk memastikan tidak ada yang tertinggal. Pemerintah, institusi pendidikan, dan perusahaan harus bekerja sama menciptakan ekosistem yang mendukung adaptasi.
Andrew Ng, seorang pakar kecerdasan buatan, merangkum tantangan ini:
"Technology is not magic; it amplifies whatever you bring to the table."
(Teknologi bukan sihir; ia hanya memperbesar apa yang sudah Anda miliki.)
Maka, jika kita membawa nilai-nilai kemanusiaan, inovasi, dan keberlanjutan ke Industri 5.0, hasilnya adalah dunia yang lebih baik. Namun, jika kita hanya memikirkan efisiensi dan profit, maka kita hanya akan mengulangi kesalahan di masa lalu.
***
Industri 5.0 adalah tentang kembali ke akar kemanusiaan di tengah teknologi yang semakin canggih. Ia mengajarkan kita bahwa revolusi sejati adalah ketika teknologi tidak hanya mengubah dunia, tetapi juga membantu manusia menjadi versi terbaik dari dirinya.
Mungkin inilah waktunya kita berhenti melihat teknologi sebagai ancaman, dan mulai melihatnya sebagai mitra. Siapkah kita?
Maturnuwun,
Growthmedia
NB: Temukan artikel cerdas lainnya di www.agilseptiyanhabib.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H