Seperti yang diungkapkan oleh Aaron Hall dalam artikelnya tentang penyelesaian sengketa properti, dimana pendekatan mediasi memungkinkan penyelesaian yang lebih kreatif dan jauh lebih hemat waktu serta biaya dibandingkan jika harus membawa masalah ini ke meja hijau.
Hal ini memberikan gambaran bahwa dalam penyelesaian konflik antar tetangga, seringkali bukan soal siapa yang benar atau salah, melainkan tentang bagaimana kita menemukan titik tengah yang bisa menguntungkan kedua belah pihak.
Salah satu contoh sederhana yang dapat diaplikasikan dalam kasus Sunardi adalah dengan mengajukan negosiasi antara pihak yang bersengketa. Di sinilah, peran hukum yang mengatur hak lintasan, atau easement, menjadi krusial.
Pihak yang merasa hak aksesnya diblokir dapat menggunakan hak hukum ini untuk mempertahankan akses ke properti mereka. Namun, selain pendekatan hukum, keberhasilan penyelesaian masalah ini juga bergantung pada solidaritas sosial antarwarga.
Jika kedua belah pihak masih memiliki niat untuk menjaga hubungan baik, maka kemungkinan besar penyelesaian yang lebih damai dan adil dapat dicapai.
Blokade Sosial
Kasus Sunardi bukan hanya soal blokade fisik sebuah jalan, tetapi juga dampaknya terhadap kohesi sosial dalam komunitas tersebut. Ketika satu akses jalan ditutup, tidak hanya individu yang terpengaruh, tetapi seluruh komunitas menjadi terhambat dalam aktivitas sosial mereka.
Terlebih lagi, dalam konteks masyarakat desa, dimana interaksi antarwarga sangat bergantung pada hubungan yang harmonis dan saling membantu. Pemblokiran akses semacam ini dapat mengarah pada ketegangan yang lebih besar, yang pada akhirnya merusak rasa kebersamaan dan solidaritas sosial.
Penelitian mengenai keberlanjutan sosial dan sengketa hak tanah menunjukkan bahwa konflik seperti ini dapat berlanjut jauh melampaui masalah fisik yang ada. Sengketa tentang akses jalan dapat menciptakan keretakan dalam hubungan antartetangga, yang akhirnya memengaruhi kualitas hidup masyarakat itu sendiri.
Tanpa adanya dialog terbuka dan upaya bersama untuk menyelesaikan permasalahan tersebut, dampak dari konflik ini bisa bertahan lama, bahkan diwariskan ke generasi berikutnya. Tentu, ini bukan hanya masalah hukum atau properti, melainkan masalah kemanusiaan dan sosial yang lebih mendalam.
Oleh karena itu, pendekatan yang lebih luas diperlukan untuk menangani masalah seperti ini. Dalam hal ini, pemahaman dan empati terhadap kebutuhan satu sama lain menjadi kunci.
Pengelolaan konflik yang berbasis pada penghargaan terhadap hak-hak masing-masing individu serta kesediaan untuk bekerja sama demi kepentingan bersama akan menghasilkan solusi yang jauh lebih positif dibandingkan jika masing-masing pihak bersikeras dengan klaimnya tanpa adanya ruang untuk kompromi.