"Selalu siap" mungkin terdengar seperti keunggulan, tapi apakah benar demikian? Sebuah survei dari Frontiers in Psychology menunjukkan bahwa 65% pekerja di era digital mengalami kesulitan memisahkan waktu kerja dan pribadi. Ini bukan sekadar masalah manajemen waktu, melainkan realita dari budaya always on. Seiring dengan meningkatnya tekanan kerja, teknologi yang mempermudah hidup justru membuat kita terjebak dalam siklus kerja tanpa akhir.
Di kota besar seperti Jakarta, Tokyo, atau New York, batas antara kehidupan pribadi dan pekerjaan kian kabur. Notifikasi email di malam hari, rapat mendadak pada akhir pekan, dan akses pekerjaan 24/7 menciptakan fenomena baru: worklife blur. Apakah ini harga yang harus kita bayar demi kesuksesan? Atau justru pertanda bahwa kita kehilangan kendali atas kehidupan kita sendiri?
Albert Einstein pernah berkata, "I fear the day that technology will surpass our human interaction. The world will have a generation of idiots." Dalam konteks modern, kita mungkin bukan "idiot," tapi terlalu sibuk mengejar target hingga melupakan kebutuhan dasar, yakni istirahat dan kebahagiaan.
Worklife Balance: Dulu vs Sekarang
Konsep worklife balance dulunya sederhana, yaitu bekerja sesuai jam kantor, lalu menikmati waktu bersama keluarga atau mengejar hobi. Namun, era digital merombak definisi ini menjadi worklife blending, atau kondisi di mana pekerjaan dan kehidupan pribadi tumpang tindih.
Menurut penelitian The New Nowhere Land, teknologi menjadi pedang bermata dua. Di satu sisi, ia memungkinkan kerja fleksibel; di sisi lain, ia memperpanjang jam kerja tanpa henti. Seorang manajer di salah satu perusahaan mengatakan, "Saya bisa mengirim email kapan saja, tapi itu juga berarti bos bisa menghubungi saya kapan saja."
Tekanan ekonomi perkotaan memperburuk keadaan. Kompetisi tinggi dan kebutuhan finansial mendorong pekerja mengorbankan waktu pribadi. Namun, efek sampingnya tak bisa diabaikan: kelelahan, penurunan produktivitas, dan bahkan burnout. MDPI mencatat, 40% pekerja yang mengalami worklife blur melaporkan stres kronis.
Pekerjaan yang dulunya menjadi alat untuk hidup kini justru mengambil alih kehidupan. Lantas, bagaimana kita bisa menarik garis batas yang jelas dari dunia semacam ini?
Kota Besar dan Beban Kerja Tanpa Henti
Kota-kota besar dikenal sebagai pusat ambisi, tapi juga sebagai episentrum kerja tanpa henti. Statistik dari Jepang menunjukkan bahwa pekerja rata-rata menghabiskan lebih dari 60 jam per minggu untuk bekerja. Di Jakarta, survei lokal mencatat bahwa 70% karyawan membawa pekerjaan pulang.
Seorang karyawan startup bercerita, "Saya pernah mendapat pesan kerja pukul 11 malam. Awalnya saya pikir itu insiden langka, ternyata itu jadi kebiasaan." Ini adalah contoh nyata dari budaya always on yang tidak sehat.
Sayangnya, kebijakan perusahaan sering kali tidak memihak karyawan. Hanya sedikit organisasi yang memiliki aturan membatasi komunikasi di luar jam kerja. Bandingkan dengan Prancis, di mana karyawan memiliki right to disconnect yang dilindungi hukum, memberikan batas jelas antara pekerjaan dan waktu pribadi.