Beberapa tahun terakhir, kita semakin sering mendengar cerita tentang guru yang dilaporkan ke pihak berwajib karena dianggap "melampaui batas" dalam menegakkan disiplin kepada murid-muridnya di sekolah. Sebagian masyarakat mendukung tindakan tersebut sebagai upaya melindungi anak, namun sebagian lainnya memandang sebagai ancaman yang dapat melemahkan otoritas guru.
Padahal, di balik tindakan disiplin yang diberlakukan, terdapat niat seorang pendidik untuk membentuk karakter siswa agar menjadi pribadi yang lebih baik. Situasi ini menimbulkan pertanyaan yang cukup mendalam tentang bagaimana sebenarnya seorang guru harus mengajarkan disiplin tanpa terancam risiko hukum? Dan, apakah ketakutan ini akan merusak peran pendidikan dalam membangun karakter generasi muda kita?
Sebagai contoh, mari kita ingat kasus yang terjadi beberapa waktu lalu di mana seorang guru dihukum karena menegur siswa secara fisik. Atau, kasus lain di mana seorang guru dilaporkan hanya karena menegur murid yang tertangkap bermain ponsel saat pelajaran. Beberapa pengamat menyarankan agar guru menerapkan pendekatan disiplin berbasis dukungan atau relasi, yang menekankan pada komunikasi dan pengembangan tanggung jawab diri siswa, sebagaimana dijelaskan dalam buku Non-Punitive School Discipline oleh Adam H. Frank.
Pendekatan ini diharapkan dapat memberi ruang bagi guru dan siswa untuk berinteraksi tanpa ancaman dendam atau perasaan dihukum. Namun, di tengah batasan yang semakin ketat, adakah ruang bagi guru di Indonesia untuk mendisiplinkan siswa dengan aman?
Mendidik dengan Cara yang Membina
Pendidikan dan disiplin, idealnya, bukanlah tentang hukuman, melainkan tentang pembentukan karakter dan perilaku. Studi terbaru dalam European Scientific Journal menemukan bahwa pendekatan disiplin yang positif dapat meningkatkan kesejahteraan siswa, bahkan berdampak pada prestasi akademik.
Dengan pendekatan ini, guru diharapkan lebih mampu membimbing siswa untuk memahami konsekuensi tindakan mereka, sehingga perilaku positif dapat terbentuk secara sukarela.
Dalam konteks Indonesia, menerapkan pendekatan ini mungkin menghadirkan tantangan tersendiri. Banyak guru yang merasa dibatasi dalam mendisiplinkan siswa dengan metode yang efektif namun tegas. Namun, seperti kata Eleanor Roosevelt, "Understanding is a two-way street." yang artinya pemahaman harus tumbuh di kedua belah pihak.
Apakah guru kita sudah mendapat pelatihan yang cukup untuk menciptakan pemahaman dan relasi dengan siswa mereka?
Pendekatan berbasis relasi memerlukan kerja sama dan komunikasi yang erat antara guru dan siswa, termasuk kepercayaan yang terbangun seiring waktu. Ketika hubungan ini terbentuk, guru tak perlu khawatir bahwa siswa akan merasa "dihukum," karena siswa akan mengerti bahwa teguran atau koreksi adalah bagian dari proses pembelajaran.
Cara ini mungkin membutuhkan waktu lebih lama dan kesabaran lebih, tetapi dampaknya akan jauh lebih berkelanjutan dibandingkan pendekatan berbasis hukuman.