Ketika seorang tiktoker atau warganet biasa terseret ke pengadilan atas promosi judi, tindakan ini menjadi sinyal bagi khalayak bahwa "hukum ada." Namun, ketika nama besar terlibat, penanganannya sering beralih menjadi lebih lunak atau bahkan tidak ada sama sekali.
Pengamat kebijakan menyoroti bahwa selektifnya penegakan hukum dapat disebabkan oleh kepentingan ekonomi atau sosial yang turut mendominasi ranah hukum kita.
Penegak hukum beranggapan bahwa publik figur populer akan "berdampak" buruk bagi institusi hukum jika dikriminalisasi.
Dengan kata lain, preferensi pada tokoh yang dianggap dapat menjaga "harmoni sosial" lebih disukai demi menjaga hubungan baik di ranah publik. Inilah ironi, di mana hukum yang diharapkan netral malah beroperasi dalam bayang-bayang kepentingan sosial-ekonomi.
Hal ini juga tampak pada kasus pelecehan simbol pancasila beberapa tahun lalu oleh artis Zaskia Gotik yang justru kemudian ditunjuk sebagai duta pancasila oelh DPD RI (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Republik Indonesia) atau terjeratnya Raffi Ahmad dalam kasus narkoba yang malah berujung dijadikannya ia oleh Badan Narkotika Nasional (BNN) sebagai duta anti narkoba.
Sepertinya memang ada kecenderungan institusi publik kita untuk numpang citra melalui para publik figur sehingga makin terlihat bahwa perlakuan pilih kasih itu terjadi.
Antara Rekomendasi dan Realita Penegakan Hukum
Kasus tebang pilih dalam judi online menjadi sinyal bagi perlunya reformasi besar-besaran pada aturan hukum siber kita. Di Indonesia, cybercrime, termasuk promosi judi online, menjadi tantangan berat karena kerangka hukum yang belum seragam.
Salah satu rekomendasi para ahli adalah penerapan kerangka regulasi yang lebih tegas tanpa memandang status sosial. Hal ini mengingatkan kita bahwa hukum harusnya menjadi penjaga keseimbangan, bukan alat seleksi sosial.
Tak hanya di Indonesia, konsep "selective prosecution" adalah isu global yang telah lama mendapat sorotan. Negara-negara yang telah berhasil mengatasi masalah ini, seperti Kanada, mengutamakan transparansi dalam penerapan hukumnya. Tanpa perbaikan menyeluruh, ketimpangan ini akan terus terjadi, dengan publik figur sebagai "kebal" dan masyarakat biasa sebagai sasaran empuk.
Indonesia bisa mencontoh pendekatan ini untuk meningkatkan integritas hukum. Perlu adanya mekanisme transparansi dalam proses pengawasan hukum siber agar netralitasnya tetap terjaga.
Masyarakat berhak mendapatkan kepastian bahwa hukum berlaku adil bagi semua, tanpa pandang status. Seperti kata pepatah, "If law is not the same for everyone, it's not law anymore." (Jika hukum tidak sama bagi semua, maka itu bukanlah hukum lagi).