Mohon tunggu...
Agil Septiyan Habib
Agil Septiyan Habib Mohon Tunggu... Freelancer - Esais; Founder Growthmedia, dapat Dikunjungi di agilseptiyanhabib.com

Plan, Create, Inspire

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Tebang Pilih Kasus Hukum Promosi Judi Online, Mengapa (Masih) Terjadi?

8 November 2024   08:32 Diperbarui: 8 November 2024   08:34 72
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ironi Gunawan Sadbor dan kasus hukum promosi judi online yang menjeratnya | Sumber gambar : kompas.com / Riki Achmad Saepulloh

Membaca berita penangkapan Gunawan Sadbor, seorang tiktoker lokal, karena mempromosikan situs judi online, saya tak bisa menahan heran. Di satu sisi, tindakan hukum seolah tegas bagi publik seperti Gunawan. Namun, di sisi lain, publik figur populer seperti Denny Cagur atau Nikita Mirzani tampaknya justru terbebas dari jeratan hukum serupa, meski sama-sama mengakui bahwa mereka "tidak tahu" mengenai unsur legalitas dalam promosi tersebut.

Kenyataan ini bukan lagi sekadar anomali hukum. Istilah yang umum kita dengar, "tajam ke bawah, tumpul ke atas," menjadi potret selektifnya hukum, terutama dalam dunia siber. Kasus semacam ini memperlihatkan adanya bias dalam penegakan aturan di negeri ini, yang seakan masih mudah dipengaruhi status atau citra seseorang di mata publik.

Menariknya, penelitian di berbagai negara menunjukkan pola serupa, bahwa keadilan dalam hukum kerap "terseleksi", di mana pihak yang berpengaruh punya "peluang" lolos lebih besar.

Seperti apa pola ini muncul di Indonesia, dan mengapa masih terjadi? Mari kita telusuri lebih dalam.

Kelemahan Regulasi dan Jejak Ketimpangan

Ketidakjelasan regulasi menjadi pintu terbuka bagi terjadinya tebang pilih penegakan hukum dalam kasus judi online. Studi mengenai selective enforcement pada hukum menunjukkan bahwa regulasi yang kurang detail dan tidak konsisten memudahkan terjadinya bias dalam kebijakan hukum. Ironisnya, kebijakan yang harusnya memerangi kejahatan siber, terutama dalam perjudian online, malah menciptakan kesan "tebang pilih."

Penggunaan "ketidaktahuan" sebagai alasan untuk menghindari hukuman kerap kali hanya diterima jika disertai nama besar dan citra bersih. Figur seperti Denny Cagur, dengan basis penggemar besar, bisa jadi tidak dianggap ancaman, dan mungkin dampaknya lebih "diringankan."

Sebaliknya, sosok tiktoker lokal dianggap lebih lemah dalam strata sosial sehingga rentan menjadi objek penegakan hukum. Dalam banyak penelitian, bias semacam ini biasa disebut dengan istilah "normative compliance," di mana hukum seolah lebih bersahabat dengan kalangan berpengaruh.

"Justice has two scales, one for the powerful and another for the powerless." ---Bertolt Brecht.

(Keadilan memiliki dua timbangan, satu untuk yang berkuasa dan lainnya untuk yang tidak berdaya)

Bagaimana Status Sosial "Mengaburkan" Batas Hukum

Fenomena "hukum selektif" di Indonesia tak terlepas dari adanya ketergantungan terhadap status sosial yang masih kuat. Menurut studi di bidang sosiologi hukum, publik figur memiliki privilege sosial yang tidak dimiliki masyarakat awam. Dampaknya? Kebijakan dan aturan, termasuk penegakan dalam kasus judi online, tak jarang tunduk pada ketidakpastian.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun