Di tengah perubahan dunia kerja modern, fenomena "quiet quitting" telah memberi ruang bagi pergerakan baru yang lebih optimis, yakni "active resilience" atau ketahanan aktif.Â
Quiet quitting, yang berarti berhenti secara diam-diam, merupakan respons bagi banyak pekerja yang merasa jenuh atau tertekan, dengan batasan yang cenderung pasif, di mana mereka hadir secara fisik namun mental dan emosional tak sepenuhnya terlibat.
Namun, dunia kerja saat ini menuntut solusi yang lebih adaptif dan tahan banting, sehingga "active resilience" muncul sebagai jalan keluar baru. Istilah ini merujuk pada cara karyawan mengelola energi dan batasan profesional dengan lebih sadar, aktif, serta tak sekadar bertahan. Hal ini telah terbukti, melalui penelitian di Journal of Organizational Behavior (2023), bahwa ketahanan aktif meningkatkan keterlibatan dan produktivitas, serta mengurangi stres karyawan secara signifikan.
Baca juga: Sisi Gelap Revolusi Teknologi: Fakta yang Jarang Diungkap tentang Perusahaan Teknologi Raksasa
"Strength does not come from physical capacity. It comes from an indomitable will." - Mahatma Gandhi
("Kekuatan tidak datang dari kemampuan fisik. Kekuatan datang dari kemauan yang tak tergoyahkan.")
Pergeseran ini bukan hanya tren, melainkan evolusi batasan profesional yang lebih adaptif. Alih-alih sekadar menjaga jarak dari pekerjaan, konsep ketahanan aktif mengedepankan strategi yang lebih proaktif dalam mengelola diri dan lingkungan kerja.
Mengapa Active Resilience Lebih Efektif?
Mengapa ketahanan aktif jauh lebih efektif daripada menarik diri secara pasif? Berdasarkan penelitian, "quiet quitting" ternyata cenderung meningkatkan rasa keterasingan, memutus relasi dengan tim, dan mengurangi produktivitas. Sebaliknya, active resilience mendorong individu untuk menyusun strategi dan menemukan keseimbangan yang lebih baik antara kehidupan profesional dan pribadi.
Karyawan yang menerapkan pendekatan ini menunjukkan peningkatan energi, produktivitas, dan kebahagiaan di tempat kerja, sehingga mampu menciptakan batasan sehat yang mendukung produktivitas jangka panjang.
Dalam ketahanan aktif, manajemen energi menjadi kunci. Para pakar menyarankan penggunaan metode seperti teknik pernapasan dan latihan mindfulness untuk membantu karyawan tetap fokus. Rencana kerja yang terstruktur serta istirahat sejenak selama jam kerja juga berperan penting dalam mencegah burnout.
Melalui manajemen energi yang tepat, karyawan akan lebih produktif tanpa harus mengorbankan kesehatan fisik dan mental mereka. Hasil penelitian menunjukkan bahwa mereka yang melakukan ini cenderung memiliki kesehatan mental yang lebih stabil dan tahan terhadap stres.Â
Merangkul Budaya Ketahanan di Lingkungan Kerja
Budaya ketahanan aktif ini tentu memerlukan dukungan dari pihak perusahaan. Membudayakan lingkungan kerja yang mendukung kesehatan mental karyawan adalah langkah awal menuju keberhasilan konsep active resilience.