Ada suatu masa dalam benak kita di mana birokrat berdasi duduk di belakang meja-meja megah, berkutat di ruangan AC, mengulas berkas, dan menandatangani dokumen. Namun, tiba-tiba situasi berbalik. Foto-foto para pejabat pemerintahan yang mengenakan seragam militer, melompat dan berlari di bawah terik matahari, kini menghiasi halaman depan media. Sebuah aktivitas yang disebut "retreat" para menteri di Akademi Militer Magelang.
Â
Sekilas, tampak mengesankan. Namun, benarkah aktivitas ini membawa perubahan nyata dalam tubuh pemerintahan, atau justru tak lebih dari sekadar gimik pencitraan semata? Pertanyaan inilah yang menggugah untuk kita selami lebih dalam.
Profesionalitas vs. Gimik: Di Manakah Batasnya?
Saat ditelisik, retreat ini menciptakan kesan disiplin dan jiwa militeristik yang kuat. Namun, apakah ini yang betul-betul dibutuhkan oleh para birokrat? Bukankah menteri seharusnya mengembangkan profesionalitas di sektor mereka masing-masing ketimbang menjalani latihan fisik layaknya taruna baru?
Menurut Prof. William R. Walker, seorang pakar manajemen publik dari Columbia University, "Disiplin fisik memang dapat memberikan fondasi yang baik, tetapi pada akhirnya, profesionalisme dalam birokrasi tidak diukur dari seberapa tangguh seseorang menahan berat fisik, melainkan dari seberapa baik ia dapat menyelesaikan persoalan." Pandangan ini memberikan kita perspektif tentang perlunya pemerintah untuk fokus pada kompetensi administratif ketimbang aksi performatif.
Retreat ini hadir di tengah meningkatnya tuntutan terhadap transparansi dan efisiensi di kalangan pemerintahan. Ketika kepercayaan publik terhadap pemerintah mulai tergoyah, adanya aktivitas seperti ini tampak sebagai simbol kedisiplinan dan kepatuhan. Namun, bukankah rakyat lebih membutuhkan kebijakan konkret yang mengutamakan kesejahteraan?
Setiap sesi kegiatan di Akademi Militer ini tentu menarik perhatian publik, foto-foto yang ditangkap dengan sempurna dan video yang direkam dengan angle dramatis, semua ini menunjukkan "keseriusan" pemerintahan. Tak pelak, yang kemudian tergambar adalah birokrat yang tampak tegas dan disiplin.
Namun, sesungguhnya, efektivitas kebijakan lebih dari sekadar retorika disiplin dan citra visual. Sebuah studi dalam Journal of Public Administration menyebutkan, "Kehadiran sebuah tindakan yang terlalu jauh dari esensi peran pemerintahannya bisa memperkecil kredibilitas dibanding meningkatkan kepercayaan publik." Kita tentu tidak ingin kepercayaan itu menjadi sekadar tumpukan dokumentasi tanpa dampak.
Refleksi dari Perspektif Administrasi Modern
Ada baiknya kita kembali merenung, apakah dengan menjadi lebih disiplin ala militer, para menteri ini akan menjadi lebih kompeten dalam pengelolaan kebijakan publik? Penguatan birokrasi tak hanya tentang daya tahan fisik dan ketaatan mutlak, melainkan tentang kinerja nyata yang mendatangkan dampak positif bagi masyarakat.
Para birokrat tidak seharusnya didikte dengan cara kepemimpinan militeristik. Mereka butuh memahami bagaimana manajemen publik dan pelayanan masyarakat dapat dioptimalkan. Mungkinkah mereka, dengan serangkaian latihan ini, mampu menciptakan kebijakan yang lebih proaktif dan responsif? Ataukah retreat di Akmil ini justru jadi selingan yang tak relevan dengan problematika yang sesungguhnya?
Jika kita lihat dari kaca mata kritis, masalah yang dihadapi negeri ini sesungguhnya jauh lebih pelik daripada sekadar memperkuat kedisiplinan dalam tubuh pemerintahan. Mulai dari problematika ekonomi, kemiskinan, isu lingkungan, hingga ketidakmerataan infrastruktur, pemerintah perlu mendorong birokratnya untuk lebih tajam dalam merumuskan solusi.