Mohon tunggu...
Agil Septiyan Habib
Agil Septiyan Habib Mohon Tunggu... Freelancer - Esais; Founder Growthmedia, dapat Dikunjungi di agilseptiyanhabib.com

Plan, Create, Inspire

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Dari Raksasa ke Semenjana, Mengapa Sritex Gagal Menghadapi Perubahan Ekonomi Dunia?

25 Oktober 2024   05:49 Diperbarui: 28 Oktober 2024   13:12 614
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pabrik tekstil Sritex yang pernah berjaya, namun kini menghadapi kemunduran | Sumber gambar: Dokumentasi Sritex

Dalam kondisi normal, ini adalah strategi yang cerdas. Namun, pandemi COVID-19 mengubah segalanya. Gangguan pada rantai pasokan global yang disebabkan oleh lockdown di berbagai negara membuat Sritex kelabakan.

Rantai pasokan yang selama ini menopang bisnis mereka tiba-tiba terhenti, dan akses ke pasar utama terganggu. Dengan gangguan logistik internasional, Sritex kehilangan banyak kontrak penting.

Selain itu, peralihan global dari penggunaan pakaian konvensional ke pakaian fungsional yang lebih sesuai dengan tren gaya hidup digital juga berkontribusi pada penurunan permintaan tekstil konvensional yang diproduksi oleh Sritex.

Sebagai perusahaan yang sangat tergantung pada pasar global, Sritex terbukti tidak cukup fleksibel untuk mengalihkan fokus ke pasar domestik atau produk yang lebih sesuai dengan kebutuhan baru. Ketidakmampuan mereka untuk merespons perubahan ini membuat Sritex semakin tertinggal dalam persaingan global.

Krisis Pandemi dan Gagalnya Adaptasi Teknologi

Tak bisa dipungkiri, pandemi COVID-19 juga mempercepat kemunduran Sritex. Seperti banyak perusahaan besar lainnya, mereka menghadapi tantangan besar ketika permintaan global menurun drastis dan operasional perusahaan terhambat. Sritex berjuang untuk menyesuaikan diri dengan kondisi yang berubah cepat, terutama dalam hal transformasi digital.

Transformasi teknologi yang menjadi penentu keberhasilan perusahaan dalam menghadapi era industri 4.0, sayangnya, gagal diadaptasi secara maksimal oleh Sritex.

Banyak perusahaan tekstil di negara lain mulai beralih ke penggunaan teknologi manufaktur canggih yang memungkinkan efisiensi produksi, namun Sritex terkesan lamban merespons tren ini.

Padahal, menurut Christopher & Peck (2004), perusahaan yang mampu membangun rantai pasokan yang tangguh adalah mereka yang bisa beradaptasi dengan perubahan, termasuk teknologi dan tren pasar. Kegagalan Sritex untuk membangun resilien rantai pasokan inilah yang menjadi salah satu faktor penentu keruntuhan mereka.

"In a rapidly changing environment, only the most adaptive will thrive." - Peter Drucker

("Dalam lingkungan yang cepat berubah, hanya yang paling adaptif yang akan bertahan.")

Sayangnya, bukannya menjadi perusahaan yang adaptif, Sritex terjebak dalam pola lama dan gagal melihat perubahan yang terjadi di sekitarnya. Pada akhirnya, mereka menjadi korban dari kecepatan perubahan ekonomi global yang tidak dapat mereka kejar.

Pelajaran dari Kebangkrutan Sritex

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun