Mohon tunggu...
Agil Septiyan Habib
Agil Septiyan Habib Mohon Tunggu... Freelancer - Esais; Founder Growthmedia, dapat Dikunjungi di agilseptiyanhabib.com

Plan, Create, Inspire

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Dampak AI terhadap Seni dan Sastra, Algoritma sebagai Penulis dan Seniman Masa Depan?

20 Oktober 2024   07:04 Diperbarui: 20 Oktober 2024   07:05 132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Apakah kecerdasan buatan (AI) akan mengambil kendali terhadap sisi kreatif manusia. | Ilustrasi gambar: freepik.com / freepik

Beberapa tahun lalu, ide bahwa algoritma bisa menciptakan karya seni atau sastra terdengar seperti alur film fiksi ilmiah yang terlalu futuristik, atau bahkan mengada-ada. Namun kini, hal tersebut bukan lagi khayalan. Algoritma kecerdasan buatan (AI) telah berhasil menulis puisi, menggubah simfoni, bahkan menghasilkan lukisan yang terjual seharga jutaan dolar. Bukan hanya ahli teknologi yang mulai melihat potensi ini, tetapi juga para seniman dan penulis mulai merenung: Apakah algoritma akan menggantikan mereka di masa depan? Apakah seni yang dihasilkan AI memiliki kedalaman dan nilai estetika yang sama dengan hasil karya manusia?

 

Sebagai seseorang yang terbiasa menulis naratif dengan refleksi personal, saya sering bertanya-tanya, apakah AI bisa meniru kerumitan emosi dan pengalaman manusia dalam tulisan? Mungkin algoritma bisa menulis sajak cinta, tetapi bagaimana dengan sajak patah hati setelah perpisahan yang menyakitkan? Atau rasa senang yang tak terduga ketika bertemu kembali dengan seseorang dari masa lalu? Inilah kompleksitas manusia yang tampaknya sulit diterjemahkan ke dalam kode mesin, setidaknya untuk saat ini.

Algoritma Sebagai "Seniman Baru"

Algoritma AI bukan hanya bisa menulis, tetapi juga membuat karya seni. Salah satu contoh monumental adalah lukisan yang dibuat oleh algoritma GAN (Generative Adversarial Network) berjudul Portrait of Edmond de Belamy. Lukisan ini terjual seharga $432.500 di balai lelang Christie pada 2018, jauh melampaui perkiraan harga. Banyak yang heran, bagaimana sebuah karya seni yang dihasilkan oleh program komputer bisa memiliki nilai sedemikian tinggi?

Pertanyaan yang lebih menarik lagi adalah: apa yang membedakan karya AI dengan karya seniman manusia? Apakah karya seni hasil algoritma lebih merupakan "produk" daripada "karya"? Atau mungkin di masa depan, kita perlu mendefinisikan ulang apa itu seni dan kreativitas? Jika kita menerima bahwa AI bisa menjadi seniman, apakah berarti kita harus menerima bahwa seni tak lagi menjadi ruang eksklusif bagi ekspresi manusia?

Namun, di balik semua kecanggihan teknologi ini, selalu ada sisi ironis. Mungkin di suatu masa mendatang, manusia akan merindukan kekacauan yang tidak terduga, ketidaksempurnaan, dan emosi manusia yang tidak bisa diprediksi oleh algoritma.

Seperti yang pernah dikatakan Albert Einstein: "Imagination is more important than knowledge. For knowledge is limited, whereas imagination embraces the entire world, stimulating progress, giving birth to evolution." ("Imajinasi lebih penting daripada pengetahuan. Karena pengetahuan terbatas, sedangkan imajinasi merangkul seluruh dunia, menstimulasi kemajuan, dan melahirkan evolusi.").

AI dan Sastra: Masa Depan Tanpa Penulis?

Tak hanya seni visual, AI juga sudah mulai berani menyentuh wilayah sastra. Algoritma seperti GPT-3 dapat menulis cerita pendek, esai, bahkan puisi yang cukup mengesankan. Tetapi apakah ini berarti para penulis manusia harus merasa terancam?

Sastra, lebih dari sekadar rangkaian kata, adalah refleksi dari pengalaman, emosi, dan imajinasi manusia. Meskipun AI dapat meniru pola dan struktur dari tulisan manusia, akankah mereka mampu memahami makna di balik setiap kata?

Misalnya, ketika seorang penulis menggambarkan kesedihan atau kebahagiaan, ia tidak hanya menyusun kata-kata. Ia sedang membangun jembatan emosional yang rumit dengan pembaca. AI, di sisi lain, hanya mengumpulkan data dan membuat prediksi berdasarkan pola.

Namun, kita tidak bisa menampik kemungkinan bahwa AI akan terus berkembang. Mungkin di masa depan, AI akan memahami konteks emosional lebih baik dan menulis dengan nuansa yang semakin halus. Namun, apakah kita benar-benar menginginkan dunia di mana buku-buku favorit kita ditulis oleh mesin? Atau mungkin, lebih baik kita melihat AI sebagai alat kolaboratif, bukan sebagai pesaing langsung bagi para seniman dan penulis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun