Ada seorang CEO besar berbicara mengenai kebiasaannya mengambil waktu untuk sendiri, mengunjungi tempat-tempat tenang seperti gunung dan pantai. Bukan hanya untuk beristirahat, tetapi juga untuk merenung.Â
Di dalam dunia kepemimpinan, waktu untuk refleksi seperti ini ternyata lebih dari sekadar kebutuhan pribadi. Ini adalah seni yang jarang dipahami, yakni seni retret strategis. Seorang pemimpin yang hebat bukan hanya memimpin orang lain, tetapi juga dirinya sendiri.
Â
Hambalang, tempat yang dikenal dengan berbagai retret politik atau militer di Indonesia, sering kali menjadi pilihan bagi pemimpin-pemimpin kita untuk menenangkan pikiran dan menyusun strategi baru. Di balik itu, sebenarnya ada pola yang mirip dengan retret korporat atau spiritual yang dilakukan oleh eksekutif di perusahaan-perusahaan besar. Ini bukan hanya tentang istirahat; ini tentang tumbuh dan belajar.
Mengapa Pemimpin Butuh Retret?
Menurut Harvard Business School, refleksi adalah kunci utama dalam pengembangan diri seorang pemimpin. Pemimpin yang terus menerus disibukkan oleh urusan sehari-hari berisiko kehilangan pandangan jangka panjang yang penting bagi organisasi. Retret memberikan kesempatan untuk menjauh dari hiruk-pikuk harian dan menggali lebih dalam pemahaman diri. Dengan kata lain, saat seorang pemimpin berhenti sejenak, mereka sebenarnya sedang mempersiapkan langkah besar berikutnya.
Tantangan yang semakin kompleks dalam dunia bisnis atau politik membutuhkan lebih dari sekadar keputusan cepat. Para pemimpin yang memiliki waktu untuk berpikir mendalam, berpotensi mengembangkan keputusan yang lebih bijak dan strategis. Seperti yang pernah dikatakan oleh Albert Einstein, "In the middle of difficulty lies opportunity" (Di tengah kesulitan terdapat peluang). Waktu yang dihabiskan dalam refleksi bisa membuka peluang yang tak pernah terlihat sebelumnya.
Teori Pembelajaran Diri Boyatzis
Dalam teori Self-Directed Learning yang dikemukakan oleh Richard Boyatzis, refleksi diri adalah proses penting untuk membantu seorang pemimpin bergerak dari cara berpikir reaktif menjadi lebih proaktif.Â
Dengan memahami "diri ideal" mereka, para pemimpin dapat lebih jelas melihat arah pengembangan pribadi yang ingin mereka capai. Teori ini menegaskan pentingnya introspeksi yang mendalam, di mana pemimpin dapat secara mandiri mengarahkan perubahan dalam diri mereka.
Pemimpin yang bijak tahu kapan harus berhenti sejenak, melihat apa yang telah mereka capai, dan merencanakan langkah berikutnya. Ini adalah salah satu alasan mengapa berbagai organisasi besar menyelenggarakan retret secara rutin untuk para eksekutif mereka.Â
Refleksi seperti ini memungkinkan seseorang untuk meninggalkan "mindset sosial" yang dipengaruhi oleh pendapat orang lain, dan masuk ke dalam "mindset pengarang diri sendiri" di mana keputusan diambil berdasarkan nilai-nilai pribadi dan kesadaran diri.