Apakah ada yang masih bertanya-tanya terkait mengapa kasus kejahatan seksual di Indonesia terus saja terjadi atau bahkan meningkat? Dari pelecehan hingga pemerkosaan brutal yang berujung pembunuhan, semakin hari semakin banyak berita yang membuat kita bergidik.Â
Salah satu faktor yang sering dituding adalah konsumsi pornografi, tapi apakah benar ini penyebab utamanya? Atau sebenarnya masalah moralitas kita sudah tergerus lebih dalam? Dan lebih penting lagi, apakah hukuman lebih keras bisa memutus rantai mentalitas porno ini?
Saat mendalami hubungan antara pornografi dan kejahatan seksual, mungkin kita berpikir bahwa solusinya sederhana: beri hukuman lebih berat. Namun, apakah benar lebih banyak waktu di balik jeruji besi akan mengatasi masalah yang berakar dalam mentalitas?
Albert Einstein berkata, "Insanity is doing the same thing over and over again, but expecting different results." Kita terus menerapkan hukuman, tapi hasilnya masih sama. Adakah yang salah disini ?
Pornografi, Adiksi Otak atau Hiburan yang Berbahaya?
Apa yang sebenarnya terjadi di otak seseorang saat mengonsumsi pornografi? Apakah ini sekadar tontonan, atau ada sesuatu lebih dalam yang merusak struktur moral kita? Penelitian menunjukkan bahwa konsumsi pornografi yang berlebihan dapat mempengaruhi otak kita, mengaktifkan area yang berkaitan dengan adiksi serupa narkoba. Artinya, semakin sering seseorang mengonsumsi, semakin parah dampaknya terhadap perilaku mereka.
Sebuah studi yang dilakukan oleh Khn dan Gallinat (2014) dalam JAMA Psychiatry menemukan bahwa konsumsi pornografi berhubungan langsung dengan perubahan struktur otak, terutama pada bagian yang terkait dengan kontrol impuls. Semakin sering terpapar, semakin lemah kontrol seseorang atas dorongan seksual mereka. Inilah salah satu alasan mengapa pornografi dapat menjadi pemicu perilaku seksual menyimpang, bahkan berujung pada kekerasan.
Namun, pertanyaan berikutnya adalah: Jika konsumsi pornografi begitu merusak, mengapa masyarakat masih menoleransinya? Mungkin karena banyak yang beranggapan bahwa ini sekadar hiburan, atau "kebutuhan alamiah" manusia. Tetapi kenyataannya, kita tidak bisa menutup mata pada dampak negatifnya, baik secara individual maupun sosial. Hukuman mungkin bisa menakuti sementara, tapi apakah cukup untuk menghentikan siklus ini?
Â
Hukuman yang Lebih Berat, Apakah Efektif?
Di Indonesia, hukuman bagi pelaku kejahatan seksual memang telah diperberat. Dari hukuman cambuk hingga kebiri kimia, berbagai langkah pemberatan hukuman diambil untuk memberi efek jera. Tetapi jujur saja, apakah ini benar-benar efektif? Jika memang hukuman berat adalah jawabannya, seharusnya kasus-kasus ini sudah berkurang, bukan malah meningkat.
Banyak pakar berpendapat bahwa hukuman saja tidak akan memutus mentalitas porno. Diamond, Jozifkova, dan Weiss (2011) dalam jurnal Archives of Sexual Behavior bahkan menunjukkan bahwa di beberapa negara, penerapan hukuman keras tidak serta-merta menurunkan tingkat kejahatan seksual. Mengapa? Karena akar masalahnya lebih kompleks daripada sekadar memberikan hukuman. Adiksi dan mentalitas yang terbentuk akibat paparan pornografi harus diatasi dari akar, bukan hanya gejalanya.
Hukuman keras mungkin memberikan ketakutan sesaat, tetapi tanpa pendidikan yang lebih mendalam, dan tanpa program rehabilitasi yang tepat, pelaku kejahatan seksual hanya akan kembali mengulangi perilaku mereka. Sama seperti menambal ban bocor tanpa memperbaiki lubangnya, hukuman lebih berat adalah solusi sementara yang tidak menyelesaikan masalah inti.
Â
Pendidikan Moral dan Pengendalian Diri sebagai Solusi Jangka Panjang?
Jadi, jika hukuman keras tidak sepenuhnya efektif, apa solusi lainnya? Satu kata: Pendidikan. Namun, bukan hanya pendidikan akademik, melainkan pendidikan moral dan pengendalian diri sejak dini. Kita hidup di era di mana pornografi bisa diakses dengan mudah hanya melalui satu klik. Artinya, semakin penting bagi orang tua, pendidik, dan masyarakat untuk memberikan pemahaman yang mendalam tentang dampak negatif pornografi terhadap perilaku dan moralitas.
Sebagai bangsa, kita harus berani berinvestasi dalam program-program pendidikan moral yang menekankan pentingnya pengendalian diri dan penghargaan terhadap sesama manusia. Kampanye anti-pornografi dan pengenalan materi tentang efek buruknya bisa dimasukkan dalam kurikulum pendidikan sejak dini. Dengan begitu, generasi muda tidak hanya tahu cara menggunakan teknologi, tapi juga cara menggunakannya dengan bijak.
Seperti yang dikatakan oleh Mahatma Gandhi, "The greatness of a nation and its moral progress can be judged by the way its people treat their women." Dan sejauh ini, kita masih perlu banyak belajar.
Â
***
Jika kita berharap untuk menghentikan maraknya kejahatan seksual yang dipicu oleh mentalitas porno, hukuman saja tidak akan cukup. Pendidikan moral, pengendalian diri, dan pemahaman yang lebih mendalam tentang dampak negatif pornografi harus menjadi pilar utama dalam memutus rantai ini.
Hukuman keras mungkin bisa memberikan efek jera sementara, tapi solusi jangka panjang harus berakar pada perubahan pola pikir dan pendidikan yang tepat.
Sebagai bangsa, kita harus berani menghadapi tantangan ini dengan cara yang lebih progresif, bukan sekadar mengulang langkah-langkah lama yang terbukti tidak efektif. Karena seperti yang Einstein katakan, melakukan hal yang sama berulang kali dan mengharapkan hasil yang berbeda adalah kegilaan.
Mari kita mulai dari sekarang, sebelum generasi mendatang benar-benar kehilangan moralitasnya. Harapan akan generasi emas akan benar-benar hilang berganti menjadi generasi cemas manakala mentalitas porno ini tidak segera dibenahi.
Maturnuwun,
Growthmedia
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H