Jujur saya iri dengan JakLinko. Transportasi umum terintegrasi yang diwujudkan oleh mantan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan tersebut tidak bisa dipungkiri menjadi iming-iming yang menarik bagi daerah lain agar turut  serta menjalankan program serupa. Khususnya untuk daerah-daerah yang bermasalah dengan akses transportasi.
Berkaitan dengan transportasi ini saya mengalami langsung bahwasanya ketiadaan sarana transportasi publik berkualitas nyatanya memang sangat mengganggu aktivitas.
Sebagai seorang yang merantau dari kampung halaman di daerah dekat pesisir, sebuah kawasan di Jawa Timur, hampir setiap tahun saya menyempatkan diri untuk mudik ke kampung halaman.
Biasanya saya mudik menggunakan bus menuju terminal bus terdekat di kampung halaman sana. Namun, perlu diketahui bahwa untuk ukuran terdekat itu jaraknya masih sekitar 40-an kilometer untuk sampai ke rumah di kampung.
Sekitar tahun 2000-an awal, Â akses kesana sebenarnya masih terbilang mudah. Transportasi umum masih kerap wara-wiri melintas. Hanya saja situasi selama beberapa tahun terkahir ini sangat jauh berbeda.
Transportasi umum sangat langka. Penampakannya hanya terlihat sesekali saja di terminal. Kalaupun ada, biasanya penumpang harus menunggu cukup lama karena sopir angkutan masih berharap adanya penumpang tambahan.
Sebenarnya bisa saja angkutan tersebut lekas berangkat, namun si penumpang harus membayar mahal berkali lipat.
Mungkin membanjirnya kendaraan pribadi menjadi alasan mengapa transportasi umum disana menjadi sepi penumpang. Karena bagaimanapun aktivitas sehari-hari masyarakat lebih banyak mengandalkan kendaraan milik sendiri.
Masyarakat sekitar, khususnya yang dulu sering menggunakan angkutan umum, barangkali tidak merasa kehilangan ataupun kesulitan mendapati situasi tersebut. Akan tetapi, bagi kami yang tinggal di perantauan dan hendak menjenguk kampung halaman terpaksa harus mengahadapi kenyataan pahit. Sulit memperoleh akses transportasi yang memadai.