Pemilihan umum (pemilu) 2024 ini adalah periode keempat saya mendapatkan hak pilih pasca pemilu 2009, 2014, dan 2019. Namun, pada tiga episode pemilu terdahulu tidak pernah sekalipun saya menggunakan hak pilih tersebut alias golput. Barangkali saya termasuk salah satu warga negara yang apatis terhadap prosesi pesta demokrasi ini.
Saya sebenarnya cukup tertarik dengan dunia politik. Aktif menyimak berita dan situasi politik terkini. Pun ketika masih mahasiswa dulu juga ikut terlibat dalam aktivitas kemahasiswaan yang mengulas isu-isu politik kala itu.
Hanya saja, semua itu tidak atau belum membuat hati saya tergerak untuk turut serta menggunakan hak suara. Saya lebih memilih untuk tidur di rumah atau sebatas menyaksikan ingar-bingar pemberitaan pesta demokrasi melalui layar kaca. Â Bagi diri saya waktu itu, memilih siapapun tidak akan mengubah apa-apa.
Mungkin ada preferensi dan harapan terhadap kelompok tertentu untuk memenangi kontestasi. Sekadar untuk mengekspresikan minat saja, bukan sebuah pilihan sebagai deklarasi keberpihakan.
Bagaimanapun, seperti ada keengganan untuk terlibat lebih jauh dalam menentukan arah kepemimpinan negeri ini. Anggapan bahwa semua kontestan pemilu hanya memainkan gimik seolah makin menegaskan pada diri saya bahwa pesta demokrasi tak lebih dari sebuah arisan kepemimpinan yang kurang memperjuangkan kepentingan publik secara serius, tulus, dan lurus.
Mengapa 2024 Berbeda?
Saya merasa harus berterima kasih kepada sosok Anies Baswedan. Berkat beliaulah saya merasa tergerak untuk melihat politik di Indonesia dari sudut pandang yang berbeda.
Kepemimpinan beliau di Jakarta, yang meskipun oleh sebagian kalangan dilabeli bermasalah, ternyata membuat saya justru makin tertarik. Bagaimana konsep beliau memimpin memiliki runtutan jelas. Metodologis. Runut. Sesuatu yang sepertinya sangat jarang terjadi di era percaturan politik yang banyak memainkan gimik dan citra.
Tudingan politik identitas yang disematkan kepada beliau justru menjadi pemantik bagi diri saya untuk melihat sejauh mana sih kebobrokan yang terbentuk di benak publik pasca pemilukada DKI Jakarta 2017.
Semakin saya gali dan cari ternyata banyak sekali orang-orang culas yang ciut nyalinya untuk beradu gagasan secara fair. Justru mereka memilih jalur gelap kampanye hitam. Menjelekkan atau bahkan memfitnah pihak lawan agar diri dan kelompok mereka terlihat baik.
Padahal, seharusnya seorang pemimpin itu berani untuk head to head. Adu gagasan secara langsung. Adu karya secara langsung. Katakan baik jika baik, dan buruk jika memang buruk. Si pemenang adalah yang menghasilkan karya lebih baik dari yang lain. Si pemenang bukanlah yang berhasil memberitakan buruk orang lain agar dirinya tampak baik.