Ratusan liter solar disiapkan. Belasan lampu sorot beratus-ratus watt siap menjadi sumber penerangan. Sound system besar untuk bunyi musik selama berada di laut pun tinggal menunggu dinyalakan. Pertanda kapal sudah siap berlayar untuk menangkap ikan ke lautan.
"Ayo budhal! (Ayo berangkat!)" Seru kapten kapal kepada para anak buahnya. Dan perlahan tapi pasti kapal ikan berukuran sedang itu melaju diantara kapal-kapal lain yang terparkir disisi kanan kiri hulu Sungai Besini. Melewati Plawangan (sebutan masyarakat sekitar untuk area perbatasan Sungai Besini dan Laut Kidul), dan meluncur ke tengah lautan.
Faril merupakan salah seorang nelayan yang turut serta dalam rombongan itu. Menjalani profesi yang ditekuninya sejak beberapa bulan lalu. Sebuah keputusan yang sebenarnya berat untuk ia ambil seiring banyaknya cerita kapal tenggelam dan anak buah kapal seperti dirinya yang hilang meregang nyawa.
"Asline wedi, Mas. Tapi yak piye maneh. Ben iso mangan yo kudu dilakoni (Sebenarnya takut, Mas. Tapi mau bagaimana lagi. Agar bisa makan ya harus dijalani)." Kata Faril suatu kali saat saya menanyakan perihal pilihan profesinya tersebut.
Meskipun dihadapkan pada situasi penuh ketidakpastian bisa tidaknya untuk pulang, Faril berusaha untuk tetap menikmati sejumput momen indah dari profesinya sebagai nelayan. Yakni tatkala kapal yang ditumpanginya melaju tenang ke tengah lautan sambil menikmati sang surya yang tenggelam di peraduan.
Matahari terbenam di ujung lautan adalah pelipur lara dari profesinya yang penuh mara bahaya. Semerbak warna kuning kemerahan menjadi pertanda malam mulai menjelang. Memberikan kesan indah yang tidak setiap orang bisa memandang.
Matanya menerawang jauh ditengah gemuruh kapal yang melaju dengan yakin ke pusat Laut Selatan. Sambil lamat-lamat ia merapal doa kepada Sang Pencipta. "Duh Gusti, kulo nyuwun keslametan. Mugi-mugi Panjenengan paringi rezeki engkang katah dumateng kulo lan keluargo kulo. Amin. (Ya Tuhan, saya mohon keselamatan. Semoga Engkau memberikan rezeki yang melimpah kepada saya dan keluarga. Amin.)"
Apa yang dirasakan Faril mungkin itu juga yang dirasakan oleh Pangeran Puger ratusan tahun sebelumnya. Keresahan, kegelisahan, dan kekhawatiran. Meski dalam konteks yang mungkin sedikit berlainan.
Ditengah masa pergolakan kekuasaan yang dihadapi sang pengeran selaku pewaris tahta kerajaan Mataram, serta gonjang ganjing politik penjajahan yang akhirnya memaksa Pangeran Puger untuk menepi. Melakukan kontemplasi dalam rangka mencari solusi atas kegaduhan yang terjadi.
Bermeditasi di Gunung Watangan yang teduh, dibawah hijaunya dedaunan, dinaungi rindangnya pepohonan, suara hewan-hewan yang bersahutan, gemuruh ombak yang tegas, serta pancaran indah sang surya tatkala terbit dan terbenam memberikan ketenangan tiada tara.