Mohon tunggu...
Agil Septiyan Habib
Agil Septiyan Habib Mohon Tunggu... Freelancer - Esais; Founder Growthmedia, dapat Dikunjungi di agilseptiyanhabib.com

Plan, Create, Inspire

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Renungan Maulid, Ketika Tangan Sudah Melebihi Tajamnya Pedang

19 Oktober 2021   16:02 Diperbarui: 19 Oktober 2021   16:04 410
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berapa usia kita saat ini? Berapa banyak masa peringatan maulid yang telah kita lalui untuk meneladani akhlak Baginda Nabi Muhammad SAW? Usia yang terus bertambah tentu merupakan harapan untuk lebih memahami perihal bagaimana seharusnya seseorang bersikap, berindak, ataupun berucap.

Kehidupan seseorang seiring bertambahnya usia tentu akan mengalami beragam dinamika, tantangan, ujian, cobaan, suka cita, duka lara, cekcok, dan sejenisnya. Terlebih pada era yang serba terkoneksi seperti sekarang ini. Ketika orang-orang yang tidak tahu apa-apa justru berlagak layaknya pakar tingkat tinggi.

Segenap kritikan begitu mudah terlontar dari lisan maupun tulisan seseorang yang dianggap berseberang pandangan dengannya. Bukan hanya orang-orang dekat yang kerapkali menjadi sasaran kritik. Mereka yang tinggal jauh bahkan di ujung dunia sekalipun bisa menjadi sasaran umpatan ataupun pujian.

Jika kondisi kedua yang terjadi maka mungkin situasinya akan baik-baik saja. Lain halnya tatkala umpatan, hinaan, hingga tindakan sejenis dengan hal itu yang terjadi. Menjustifikasi serta mengadili peristiwa begitu gampangnya dilakukan sementara duduk pangkal masalahnya sendiri masih belum jelas.

Tapi, justru karena keberadaan yang jauh inilah seseorang terlihat lebih berani untuk "menghujamkan pedang" melalui lisan ataupun ketikan jari-jari tangannya. Hanya karena keberadaan tempat yang berjauhan hal itu dianggap sebagai kondisi aman untuk berbuat semaunya.

Padahal apakah akhlak seperti itu yang seharusnya kita tampakkan terutama sebagai umat Kanjeng Nabi? Beliau mengajarkan kepada umatnya agar menghindari menyakiti orang lain dari lisan ataupun tangannya. Lisan memang adakalanya menjadi sesuatu yang tajamnya mengalahkan pedang. Menghunus dan menyakiti perasaan orang lain.

Barangkali dulu lisan ataupun tangan kita hanya mampu menjangkau orang-orang di sekeliling kita. Tapi kini keduanya sudah bisa memberikan dampak yang jauh lebih luas. Satu desa, satu kota, bahkan satu negara bisa tersakiti hatinya dalam waktu bersamaan hanya karena sebuah unggahan yang dilakukan seseorang.

Setiap ketikan dan "aksi lihai" tangan kita dalam memainkan teknologi digital bahkan mampu memberikan sayatan yang lebih menyakitkan ketimbang pedang yang paling tajam sekalipun. Mereka yang pemdiam dan tak banyak bicara sekalipun bisa melontarkan pernyataan yang membikin muram orang lain.

Entah sekarang ini sudah memasuki momen Maulid Nabi Muhammad SAW yang keberapa sepanjang usia hidup kita. Adakah perubahan sikap, kedewasaan, dan cara kita dalam menghormati orang lain melalui kata-kata? 

Atau sebenarnya kita sudah semakin terbawa oleh arus zaman yang semakin memberikan ruang kepada siapapun untuk berbuat lebih dari sebelumnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun