Kisah-kisah perjalanan korporasi besar yang lantas gulung tikar sudah beberapa kali kita dengar.
Perusahaan raksasa yang dulunya begitu digdaya seolah tiba-tiba hilang tiada. Bak mati ditelan bumi. Mereka tersingkir oleh para pesaing yang lebih cepat menyadari terjadinya perubahan, atau lebih tepatnya "sadar diri" terhadap perkembangan zaman.
Kodak yang begitu yakin dengan produk kebanggaannya, rol film, menutup diri dari masa depan akan potensi kehadiran kamera digital. Sesuatu yang pastinya di kemudian hari mereka sesali sebagai sebuah kesalah besar.
Begitupun dengan raksasa handphone seperti Nokia yang dulu begitu digdaya namun kini seolah bukanlah siapa-siapa dan hanya menyisakan produk nostalgia.
Pada suatu titik tertentu para "mantan" raksasa itu mungkin mengabaikan pergeseran zaman (shifting) yang terjadi dan baru menyadari setelah semua sudah terlambat. Padahal petunjuk mengenai hal itu bisa jadi sudah ada sejak lama namun masih tampak kabur sehingga sangat sedikit yang menyadari keberadaannya.
Salah satu petunjuk tersebut seharusnya bisa dilihat dari angka peramalan (forecasting) penjualan produk. Mungkinkan korporasi sebesar Kodak ataupun Nokia tidak memiliki data forecasting dalam pengelolaan proses bisnisnya? Rasa-rasanya hal itu hampir mustahil.
Lantas, apakah keberadaan forecasting tersebut tidak bisa membaca "gerak-gerik" data permintaan yang cenderung menurun?
Seharusnya bisa. Pihak manajemen Kodak sendiri tentunya menyadari angka penjualan produk mereka terus mengalami penurunan dibalik semakin populernya fotografi digital.
Namun sepertinya waktu itu mereka ingkari sembari berharap bahwa angka penjualan produk mereka akan kembali merangkak naik. Tapi realitasnya ternyata tidaklah seperti itu.
Pun demikian dengan Nokia yang sepertinya juga terlalu arogan untuk mengakui bahwa produk mereka sudah ketinggalan zaman.
Ramalan yang Menjadi Kenyataan