Menjadi bagian dari generasi 90-an mungkin merupakan salah satu hal yang paling saya syukuri. Ada begitu banyak cerita indah dimasa itu yang mungkin bakalan sulit terulang untuk dirasakan oleh generasi setelahnya. Terkhusus perihal Ramadan tempoe doeloe saat dimana anak-anak kecil masa itu samasekali belum mengenal peralatan gadget atau semacamnya. Semua permainan, hiburan, dan sejenisnya lebih cenderung mengutamakan sesuatu yang konvensional. Barangkali hanya televisi saja waktu itu yang tergolong sebagai peralatan canggih pada masanya. Dan itupun hanya sebagian orang saja yang memiliki televisi di rumahnya, sehingga kegiatan menghabiskan waktu didepan televisi hanya berada pada urutan kesekian dari opsi yang bisa dipilih. Mungkin hanya pada hari-hari tertentu saja anak-anak kecil masa itu yang memilih menghabiskan sebagian besar waktunya untuk duduk didepan televisi. Selebihnya melakukan aktivitas diluar yang umumnya lebih dipenuhi dengan keseruan.
Kehadiran Bulan Suci Ramadan  bukannya mereduksi antusiasme anak-anak masa itu untuk hanya duduk berdiam diri di rumah masing-masing. Justru seperti ada begitu banyak gagasan kegiatan untuk dijalani semenjak terbit fajar hingga terbenam matahari. Panas terik matahari bagi kami saat itu bukanlah hambatan untuk menikmati siang. Blusukan ke kebun rumah mencari sebilah pohon bambu untuk dijadikan beberapa barang tertentu merupakan salah satu hal yang tidak akan terlewatkan. Membuat mercon bambu adalah prioritas pertama. Kemudian membuat kentongan dari bambu adalah prioritas selanjutnya. Keberadaan mercon bambu seperti menjadi hiburan wajib yang harus ada setiap kali memasuki bulan suci ini. Apalagi saat itu rasa-rasanya berurusan dengan polisi gegara mercon masih jauh dari pikiran. Mercon bukanlah alasan untuk berbuat onar, melainkan sebuah media yang justru memicu semangat mereka yang mendengar.
"Menceritakan pengalaman masa kecil di Bulan Ramadan barangkali tidak akan pernah ada habisnya. Dan mungkin setiap orang memiliki memori indahnya masing-masing. Tapi satu hal yang membuat Ramadan terasa begitu istimewa adalah karena disana kita bisa membingkai cerita khas Bulan Ramadan yang kenangannya akan terus terulang setiap bulan suci itu datang menyapa. Tidak peduli kapanpun waktunya, selama hayat dikandung badan Ramadan akan terus membangkitkan momen penuh kenangan itu."
"Eksperimen" untuk menciptakan bunyi terkeras dari mercon bambu sudah beberapa kali kami coba. Dari Ramadan ke Ramadan kami "memikirkan" formula terbaik perihal apa yang harus diperbuat untuk membuat mercon bambu bersuara keras tersebut. Jenis bambu tertentu disinyalir mampu menghasilkan bunyi lebih keras daripada jenis bambu-bambu yang lain. Begitupun dengan "bahan bakar" mercon bambu yang dipergunakan. Mulai dari minyak tanah hingga karbit yang disiram air memiliki "daya ledak" yang berbeda. Minyak tanah apabila diimbangi dengan bambu berdiameter besar akan mampu mengeluarkan ledakan besar. Sementara bahan bakar karbit sampai mampu memecahkan bambu sebagai media hulu ledak mercon yang kami buat. Bahkan alis terbakar pun sepertinya merupakan hal yang biasa untuk dialami.
Sepintas memang berbahaya, tapi bagaimanapun juga saat-saat itu merupakan periode terbaik yang sangat menyenangkan untuk dikenang kembali saat ini. Saya masih ingat betul sebuah momen ketika saya dengan beberapa teman sepantaran waktu itu membuat mercon bambu berbahan bakar karbit. Sebilah pohon bambu kami tebang mesti salah seorang dari kami sampai harus terjatuh dari tangga. Sakit memang sepertinya. Tapi tidak menjadi masalah karena misi utama harus tetap terwujud. Saat sebagian dari kami tengah membuat mercon bambu dari sebilah pohon yang kami tebang, sebagian yang lain mencari karbit untuk dijadikan bahan bakarnya. Kami sudah membayangkan seperti apa gerangan nanti suara ledakannya. Karena dengan bambu "bermutu tinggi", berukuran besar, dan berbahan bakar karbit. Pasti akan memekakkan telinga. Paling tidak seperti itulah pikir kami waktu itu.
Singkat kata, semua bahan sudah disiapkan dan mercon bambu karbit siap dinyalakan. Saat itu waktunya masih menjelang siang. Dan sepertinya akan semakin seru apabila sudah beranjak malam. Tapi kapanpun itu kami tidak peduli karena sepanjang waktu Ramadan adalah saat terbaik untuk dinikmati. Salah seorang dari kami menyiapkan aba-aba untuk membuat karbit didalam bilah bambu mercon siap untuk disulut. Udara didalam mercon bambu berisi karbit disumpal sedemikian rupa sehingga tidak keluar dari celah lubang "meriam" bambu kami. Dibiarkan beberapa saat sampai udara didalam mercon semakin mampat. Kemudian seorang teman yang lain mulai menyalakan sebatang kayu dengan api. Ia mulai memberikan aba-aba kepada kami yang sebelumnya mengelilingi mercon bambu agar sedikit menjauh. Ia meletakkan api itu menuju lubang mercon yang mulai mengpulkan asap karbit. Sesaat kemudian," Duuaaarrrrr!!!". Suara mercon bambu karbit memekakkan telinga kami semua sampai-sampai untuk beberapa saat kami tidak bisa mendengar apapun kecuali bunyi dengungan nyaring di telinga. Bukannya panik, kami malah jingkrak-jingkrak menikmati kemenangan hasil kerja keras menciptakan mercon bambu kebanggaan. Bilah bambu itupun retak dan pecah setelah menjalankan tugasnya dengan baik.
Mengalami situasi seperti itu bagi kami adalah kebahagiaan yang patut untuk diceritakan kepada teman-teman yang lain saat nanti berkumpul di musholla untuk menunaikan Sholat Tarawih. Saling bertukar cerita mengisahkan pengalaman masing-masing sepanjang hari-hari di Bulan Ramadan. Sebagian menceritakan kisah "merakit mercon" seperti yang kami lakukan. Sebagian yang lain ada yang berkisah tentang "latihan" musik patrol di rumah salah seorang teman. Sebagian yang lain berkisah mengenai musholla atau masjid mana yang lebih cepat menuntaskan pelaksanaan tarawih. Mereka akan terlihat begitu bangga saat menceritakan sesuatu yang tidak dialami oleh rekan-rekannya yang lain sehingga membuat suasana begitu hidup diantara kami semua. Perjumpaan dengan teman-teman sepermainan khususnya saat sama-sama menjalani ibadah tarawih dan setelahnya merupakan salah satu saat terbaik untuk bercengkrama dan berbagi cerita. Membuat kebersamaan yang tercipta tidak ada bandingannya. Bahkan jika membandingkannya dengan kenikmatan bermain gadget sekarang, rasa-rasanya hal itu masih jauh dari kata sebanding.
Pada momen Bulan Suci Ramadan, musholla atau masjid seperti berubah menjadi rumah kedua bagi kami. Tinggal berlama-lama di musholla terasa menyenangkan. Apalagi saat setelah Sholat Tarawih ketika tadarus Al-Qur'an dilakukan. Hidangan takjil seperti menjadi makanan gratis yang tidak boleh disia-siakan. Jumlahnya bisa sangat banyak untuk dihabiskan. Mereka yang kelaparan di malam hari dan tidak memiliki jajanan di rumahnya bisa datang ke musholla untuk turut menikmatinya. Syaratnya sederhana, ikut mengaji dan melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur'an.
Bukan hanya itu, saat malam semakin larut pun keberadaan kami di musholla jauh dari kata menjemukan ataupun membosankan. Tidak sedikit dari kami yang memilih untuk tidur bermalam di musholla. Bersantap sahur disana. Sampai kemudian menunaikan Shalat Subuh berjamaah disana pula. Merindu musholla, mungkin seperti itu perasaan yang bisa digambarkan. Bulan Ramadan benar-benar menjadi momen yang sangat berharga bagi kami dalam mengarungi hari-hari penuh kenangan itu. Meski mungkin kami harus mengulang momen serupa keesokan harinya hal itu tidak terasa membosankan samasekali. Bahkan seandainya kini waktu memberikan kesempatan untuk memutar kembali saat itu rasa-rasanya saya pribadi tidak keberatan menjalaninya. Tapi setidaknya setiap kali Ramadan datang ada memori indah yang bisa diungkap ulang guna menceritakan kembali masa itu. Masa-masa dimana pernah ada suatu hari ketika Ramadan menjadi pengindah suasana masa kecil yang penuh kesederhanaan namun terasa sangat menyenangkan. Menjadikan suasana yang "meledak" untuk dinikmati.
Salam hangat,
Agil S Habib
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H