Mohon tunggu...
Agil Septiyan Habib
Agil Septiyan Habib Mohon Tunggu... Freelancer - Esais; Founder Growthmedia, dapat Dikunjungi di agilseptiyanhabib.com

Plan, Create, Inspire

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Bukan Pemicu Masalah di Pekerjaan, tapi Mengapa Jadi Sasaran Amarah Atasan?

17 Maret 2021   07:56 Diperbarui: 18 Maret 2021   00:27 450
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada sebuah fenomena menarik yang terjadi di tempat kerja seorang teman. Hampir semua supervisor di bagian produksi ramai-ramai "menghindari" jatah jadwal kerja di shift 1 namun bersorak gembira tatkala giliran mereka mendapat kesempatan bertugas di shift 3. Shift 1 pekerjaan ibarat momok yang menjadikan mereka objek pesakitan dari sang atasan. 

Sementara shift 3 justru sebaliknya. Ibarat "surga" yang memberikan keleluasaan dalam bertugas dan menikmati situasi kerja dengan tenang dan nyaman. 

Mengapa fenomena semacam ini bisa terjadi? Menilik salah satu penuturan yang diutarakan teman diketahui bahwa "ketakutan" yang menghadirkan rasa tidak nyaman itu adalah perjumpaan dengan para atasan kerja. Dimana umumnya si bos dan segenap atasan yang lain bertugas non shift sehingga membuat mereka paling mungkin untuk bersua para pekerja dari shift 1 dan juga shift 2.

"Membidik sasaran haruslah tepat sehingga apa yang dituju benar-benar tertuntaskan sebagaimana harapan yang ada."

Selayaknya suatu pekerjaan tentunya tidak selalu berjalan mulus. Ada beberapa hal yang mungkin meleset dari perkiraan, melenceng dari harapan, atau tidak sesuai dengan target yang ditentukan. Sementara bagi para atasan pekerjaan yang dituntut mewujudkan kesempurnaan dalam tugas, setiap inci masalah sebisa mungkin dihindari. 

Sebagai seorang yang menjadi garda terdekat dengan tim pelaksana lapangan tentunya para supervisor dihadapkan pada beban untuk senantiasa memegang kendali tugas. Mereka dituntut untuk mengawal aktivitas kerja sehingga terus berjalan smooth dan lancar. Mereka pula yang akan menjadi orang pertama untuk diinterogasi oleh atasannya jikalau terjadi peristiwa yang tidak sesuai harapan.

Mungkin terjadi kendala di proses produksi di shift 3 pekerjaan seperti kerusakan mesin atau sejenisnya. Hal itu umumnya tidak membuat para atasan menginterogasi langsung orang-orang yang bertugas di shift tersebut beberapa waktu setelah kejadian. Mereka akan menanyai para pekerja lapangan yang terdekat dengan waktu mereka bertugas. 

Dengan kata lain mereka adalah pekerja di shift 1. Dan layaknya struktur organisasi maka tataran managemen level terbawah akan menjadi pihak pertama yang dikulik informasinya. 

Diberi pertanyaan banyak hal atau mungkin disudutkan serta dipersalahkan atas masalah yang sebenarnya ia tidak bertanggung jawab secara langsung. Mereka hanya menjadi orang lain dalam satu tataran tugas dari pekerja lainnya yang menimbulkan masalah.

Rasanya tentu tidak mengenakkan tatkala kita diperlakukan seperti pihak yang bersalah sementara kita tidak turut andil langsung dalam hal tersebut. Tapi seorang atasan terkadang tidak mau tahu dengan hal itu. 

Atau kalaupun luapan aparah mereka ditujukan kepada pekerja lain yang tidak sedang berada di tempat, tetap saja si pekerja yang bukan "tersangka utama" turut merasakan imbasnya. 

Bukan tidak mungkin hal-hal kecil yang berada dalam kendali pekerjaan si anak buah akan turut disinggung dan dipermasalahkan meskipun biasanya hal itu tidak terlalu diperhatikan.

Sebagai seorang atasan, setiap masalah yang terjadi tentu akan membuat mereka berada dalam sorotan dari tataran yang lebih tinggi. Sehingga memang sepatutnya mereka mampu mengondisikan. Hanya saja memang ada beberapa keterbatasan yang membuat mereka tidak memungkinkan mereka bergerak bebas. 

Salah satunya adalah jam tugas mereka yang seringkali berbeda dengan sebagian pekerja lain khususnya di shift kerja tertentu. Sehingga yang para atasan ini harapkan sebenarnya adalah instruksi kerja, standar prosedur, dan arahan yang ada diikuti serta ditaati dengan sebagaimana mestinya oleh segenap pekerja pada jam manapun mereka bertugas.

Agar sebuah perbaikan dapat berlangsung secara optimal maka tentu sasaran yang dibidik mesti tepat. Jika yang memicu ketidakberesan adalah mereka yang bertugas pada shift kerja tertentu maka mereka sendirilah yang harus menanggung risiko, menerima teguran, atau mungkin "diadili". Bukan justru meluapkannya pada pekerja lain yang sejatinya sudah mengupayakan pelaksanaan tugas secara optimal dan memperbaiki keadaan atas masalah yang ditimbulkan oleh shift kerja sebelumnya. 

Sistem manajerialnya harus didesain sedemikian rupa sehingga semua pekerja di seluruh jadwal kerja turut bisa menjalani dan mentaati setiap prosedur dengan sama baiknya. Bukan semata mereka yang berada di shift 1 pekerjaan saja yang menjadi sorotan, melainkan juga para pekerja lain yang bertugas di jam kerja yang berbeda. Dengan demikian prinsip fairness bisa benar-benar diimplementasikan secara tepat, dan para pekerja bisa benar-benar bertanggung jawab terhadap tugas dan tanggung jawabnya masing-masing.

Salam hangat,

Agil S Habib

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun