Pakai vaksin asal China dikritik. Mengembangkan vaksin sendiri dengan mengadopsi pendekatan baru juga dikritik. Mencari solusi penuntasan pandemi kok sepertinya terasa begitu sulit dilakukan oleh negara yang katanya memiliki banyak kaum intelek ini ya?Â
Bagaimanapun ilmu pengetahuan itu selalu berkembang dan akan muncul khasanah wawasan baru yang barangkali akan jauh berbeda dengan sebelumnya.Â
Sayangnya, paradigma pengetahuan masa lalu cenderung membuat seseorang melakukan penentangan tanpa mau mengkaji lebih jauh dan mempelajari secara lebih detail persoalan yang dimaksud.Â
Tak ayal begitu mudahnya kritik dilontarkan tanpa dibarengi saran konstruktif justru membuat beragam upaya menjadi kontraproduktif.
"Pengembangan Vaksin Nusantara mungkin menyimpan jejak kontroversi yang tidak semua orang bersepakat dengannya. Namun kita tidak boleh mengesampingkan setiap upaya untuk mencari solusi penuntasan pandemi ini. Jika kita bisa menggunakan cara hebat untuk mengakhiri masalah, mengapa harus 'bermain aman' dan berlama-lama cara biasa?"
Melihat progres lambat pembuatan Vaksin Merah Putih yang tidak terlalu menunjukkan perkembangan signifikan, beberapa pakar dengan digawangi eks Menteri Kesehatan (Menkes) Terawan pun menggali alternatif teknologi baru di bidang vaksinasi sebagai upaya melahirkan vaksin mandiri lebih cepat dari jadwal.Â
Vaksin Nusantara yang digadang-gadang menggunakan teknologi dendritic sebagai dasar pengembangannya diharapkan mampu membuat Indonesia menyalip laju penyedia vaksin lainnya sehingga pada medio Mei 2021 diharapkan vaksin tersebut sudah siap disuntikkan ke masyarakat.Â
Menukil tulisan dari Dahlan Iskan, saat ini Vaksin Nusatara tengah melalui uji tahap I dengan objektif mengetahui efek samping penggunaan vaksin. Apabila uji tahap I ini sukses maka akan dilanjutkan pada uji tahap II, kemudian tahap III, dan lantas diupayakan untuk memperoleh izin penggunaan darurat dari BPOM sebagaimana diberlakukan juga pada Vaksin Sinovac beberapa waktu lalu.
Sayangnya, masih seumur jagung progres pengembangan Vaksin Nusantara ini sebagian pihak yang ironisnya adalah kalangan berwawasan di bidang teknologi kesehatan justru memandang hal ini dengan kesan sinis.Â
Bahkan seorang Epidemiolog asal Universitas Indonesia (UI), Pandu Riono, meminta agar pemerintah menghentikan pengembangan Vaksin Nusantara ini karena terlalu berisiko. Sementara Dewan Pakar Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) menilai bahwa upaya ini terlalu gegabah.
Mungkin kekhawatiran beliau-beliau ini bisa dimaklumi mengingat vaksinasi berkaitan dengan kondisi kesehatan manusia yang disuntik vaksin tersebut secara langsung.Â
Apalagi teknologi yang melatarbelakangi Vaksin Nusantara tergolong baru yang belum familiar di kalangan pakar kesehatan, apalagi bagi khalayak umum. Tapi menilik situasi pandemi yang berkepanjangan dan membutuhkan tindakan extraordinary maka gagasan paling "radikal" sekalipun bisa jadi amat diperlukan.Â