Mohon tunggu...
Agil Septiyan Habib
Agil Septiyan Habib Mohon Tunggu... Freelancer - Esais; Founder Planmaker99, dapat Dikunjungi di agilseptiyanhabib.com

Think Different, Create Excellent

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Donor Plasma Convalescent Minim, Bentuk "Balas Dendam" Penyintas Covid-19?

31 Januari 2021   05:40 Diperbarui: 31 Januari 2021   05:54 105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi plasma convalescent | Sumber gambar : www.evidentlycochrane.ne

Jumlah korban terpapar COVID-19 di Indonesia sudah menapaki milestone 1 juta orang dan semakin bertambah dari hari ke hari. Capaian tersebut jelas bukan merupakan "prestasi" yang menggembirakan, justru sebaliknya adalah kabar buruk yang memperberat beban petugas pelayanan kesehatan untuk menanggulangi jumlah korban yang terus bermunculan. Bahkan beberapa rumah sakit dikabarkan sudah penuh okupansinya sehingga hal itu mau tidak mau membuat beberapa pasien terpaksa harus menunggu antrian untuk mendapatkan ruang kosong perawatan.

Banyaknya jumlah korban yang masih dalam perawatan bisa dibilang merupakan "beban" berat yang mesti segera dituntaskan agar ketersediaan kamar perawatan bisa kembali seperti semua. Selain tentunya juga dengan menekan laju penambahan jumlah korban terinfeksi baru yang membutuhkan perawatan. Hal ini bisa dilakukan dengan menyegerakan prosesi pemulihan korban terpapar COVID-19 sehingga dari yang sebelumnya berstatus positif COVID-19 menjadi negatif. Beberapa obat COVID-19 memang sudah tersedia, akan tetapi ada satu "penawar" yang disinyalir lebih manjur daripada yang lainnya yaitu proses penyembuhan dengan memanfaatkan terapi plasma convalescent yang didapatkan dari para penyintas COVID-19 atau mantan penderita COVID-19 yang sudah sembuh. Dengan kata lain para mantan pasien COVID-19 memiliki peranan yang sangat besar sebagai pihak pendonor yang mampu "memproduksi" plasma convalescent dengan antibodi melawan COVID-19 didalam tubuhnya.

"Pandemi tidak akan hilang oleh karena dendam, akan tetapi oleh kesadaran untuk membantu dan saling menolong satu sama lain. Kita tidak bisa berjalan sendiri, melainkan harus terkoordinasi dalam suatu aksi yang dilandasi kesadaran diri."

Permasalahannya jumlah ketersediaan plasma convalescent relatif terbatas atau bisa dibilang kurang. Kebutuhan penggunaan terapi tersebut meningkat pesat seiring jumlah kasus yang terus bertambah sementara stok yang tersedia minim. Palang Merah Indonesia (PMI) wilayah DKI Jakarta beberapa waktu lalu dikabarkan mengalami kekosongan stock. Situasi serupa bukan tidak mungkin dialami juga oleh beberapa daerah lain, khususnya daerah-daerah dengan jumlah korban terpapar COVID-19 cukup besar. Menilik besaran kasus yang terjadi di DKI Jakarta maka wajar kiranya apabila terjadi kelangkaan stok plasma convalescent.

Dalam pemberitaan yang menginformasikan pertambahan jumlah kasus harian kita biasanya juga disajikan informasi perihal angka kesembuhan pasien COVID-19. Merujuk pada data yang disampaikan oleh Satgas Covid-19 melalui laman covid19.go.id, jumlah pasien sembuh per tanggal 29 Januari 2021 kemarin sudah melampaui angka 850 ribu orang berbanding 1 juta 50 ribu lebih paparan kasus COVID-19 yang terjadi atau sekitar 80%. Data ini menunjukkan besarnya potensi pendonor plasma convalescent yang bisa diambil untuk turut berkontribusi menyembuhkan psien COVID-19 yang tengah dirawat. Bukan tidak mungkin angka kematian akibat COVID-19 bisa direduksi apabila ketersediaan plasma convalescent relatif banyak. Selain angka kesembuhan lain yang juga bisa turut ditingkatkan. Akan tetapi potensi pendonor sebanyak itu sepertinya belum benar-benar termaksimalkan. Bisa jadi karena ada syarat dan ketentuan khusus bagi para penyintas COVID-19 untuk bisa menjadi pendonor atau karena adanya hal lain sehingga minat untuk menjadi pendonor cukup rendah. Salah satu penyebab yang perlu dikhawatirkan adalah keberadaan dorongan untuk "membalas dendam" dari penyintas COVID-19 yang mungkin selama menjadi pasien mengalami perlakuan yang kurang menyenangkan seperti dikucilkan, dijauhi orang-orang, dijadikan bahan gunjingan, dan lain sebagainya.

Perasaan sakit hati karena selama menjadi penderita mendapatkan perlakuan tidak semestinya rentan memunculkan pemikiran apatis yang menganggap tidak perlunya membantu orang lain. Ego pribadi untuk membalas dendam adalah hambatan yang mungkin sifatnya terpendam didalam hati serta jarang terungkap ke permukaan. Dengan kata lain ada luka psikologis yang menjadikan seruan untuk membantu sesama melalui ajakan menjadi pendonor plasma convalescent terkesan diabaikan atau bersikap masa bodoh. Padahal peran plasma convalescent ini bisa jadi tidak terkait langsung dengan orang-orang yang dulu berlaku kurang menyenangkan terhadap penyintas COVID-19 tersebut. Lagipula jika perasaan dendam semacam ini dibiarkan ujung-ujungnya justru mempersulit dirinya sendiri. Mengapa? Semakin berlarut pandemi ini maka kondisi nasional secara keseluruhan akan terganggu, ekonomi bermasalah, dan beberapa aspek lain tidak berfungsi secara normal. Lambat laun hal itu juga akan dirasakan oleh semua orang termasuk ia yang menaruh perasaan dendam tersebut.

Peran Proaktif dan Tagar Masif

Memiliki perasaan sakit hati ketika diperlakukan berbeda gegara mengidap COVID-19 sebenarnya cukup wajar. Dan kita sebenarnya tidak berhak menghakimi mereka untuk sikapnya itu. Namun dalam hal ini kita butuh satu suara untuk mengusir pandemi COVID-19 dari republik ini. Sekiranya kita perlu merangkul dan mengingatkan orang terdekat yang menjadi penyintas COVID-19 agar berkenan menjadi pendonor plasma convalescent. Dan hal ini tidak bisa berjalan sendiri tentunya. Petugas-petugas yang memiliki fungsi mewadahi aktivitas donor seharusnya juga bergerak lebih proaktif. Tidak sebatas menyeru sementara disisi lain mereka hanya menunggu. Bagaimanapun juga setiap orang punya kesibukannya masing-masing, sehingga mereka perlu difasilitasi dan diberikan kemudahan untuk melakukan perbuatan mulia ini.

Kegiatan mobilisasi untuk meramaikan ajakan serta menciptakan sebuah gerakan donor plasma convalescent sekiranya juga perlu digaungkan melalui media sosial. Jika tagar-tagar yang dulu pernah mengemuka terkait berbagai peristiwa bisa membangkitkan gerakan nyata di masyarakat maka gerakan serupa juga bisa dilakukan dalam menyeru penyintas COVID-19 untuk mendonorkan plasma darahnya. Strategi-strategi semacam ini harus juga dipilih agar kesadaran publik semakin tergugah dan tergerak untuk ikut serta. Para penyintas COVID-19 yang sudah sembuh dengan jumlah ratusan ribu itu jelas tidak berada disatu tempat. Mereka menyebar merata dimana saja. Juga rasanya-rasanya tidak mungkin untuk mengunjungi mereka satu per satu. Sehingga pemanfaatan media sosial adalah salah satu cara untuk "menyentuh" mereka dari jauh. Istilah "bersatu" sepertinya masih menjadi kata kunci untuk menuntaskan pandemi ini.

Salam hangat,

Agil S Habib

Refferensi :

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun