Apa yang dilakukan seorang penumpang angkutan umum baru-baru ini sepertinya sudah keterlaluan. Begitu teganya ia membayar seorang sopir angkot dengan nominal 200 rupiah saja, alasannya karena jarak yang ditempuh cukup dekat. Entah kalkulasi model apa yang dilakukan si penumpang itu sehingga ia punya kesimpulan bahwa harga 200 perak sudah layak untuk mengganti biaya perjalanan yang ia lakukan. Perlakuan semena-mena penumpang angkot ini pun langsung menjadi topik viral yang ramai dibicarakan di dunia maya. Umumnya mereka mencibir perlakuan si penumpang yang dengan begitu teganya berbuat demikian. Sementara disisi lain ada juga yang mendoakan kesabaran si sopir angkot yang lebih memilih untuk menggratiskan tarif penumpang tersebut.
Kita mungkin akan dongkol juga melihat perlakuan semacam ini. Dengan 200 perak seseorang bisa apa? Membeli bensin mungkin hanya dapat 2 tetes saja. Itupun kalau boleh. Mengapa tidak sekalian jalan kaki saja kalau memang penumpang tersebut menilai jaraknya dekat. Toh, angkot biasanya memberlakukan tarif yang sama untuk sekali perjalanan. Misalnya, jauh dekat 2.000 rupiah. Jika jaraknya dekat maka dari sanalah seorang sopir angkot memperoleh margin untuk menutup ongkos perjalanan mengantar penumpang di tempat yang jauh.
"Angka 200 perak bisa menjadi sebuah apresiasi tapi bisa juga menjadi wujud apatis kita terhadap profesi orang lain. Saat diberikan ke pengamen atau pengemis mungkin nominal itu masih dipandang wajar. Akan tetapi ketika dibayarkan pada angkutan umum akan terkesan sebagai tindakan melecehkan. Terkecuali kita kembali pada masa lalu dimana 200 perak masih memiliki nilai lebih. "Â
Dalam hal ini sebenarnya bukan sebatas perkara 200 perak yang dibayarkan seorang penumpang, melainkan ada hal lain seperti simpati, apresiasi, serta mungkin regulasi. Angkot umumnya tidak memiliki regulasi khusus yang mengatur tarif batas atas atau bawah. Tarif umumnya ditentukan langsung oleh mekenisme pasar. Sehingga bisa saja seorang sopir angkot mematok harga lebih tinggi dari yang umumnya berlaku. Atau sebaliknya ada penumpang yang dengan seenak jidatnya membayar lebih kecil dari yang seharusnya seperti yang tengah viral belakangan ini. Situasi ini kemungkinan akan sangat ditentukan oleh bargain power, kemampuan mengintimidasi, atau bisa jadi simpati dan apresiasi salah satu pihak.
Seorang sopir angkot bisa saja bersikap galak, membantak, dan kasar kepada penumpang yang naik ke angkutannya. Meminta bayaran lebih karena sesuatu hal yang menurutnya layak untuk itu. Hal ini mungkin pernah kita alami tatkala mengendarai angkutan umum satu-satunya tapi jumlah penumpangnya terbatas. Si sopir memberikan opsi akan segera berangkat dengan tarif berkali-kali lipat atau terus menunggu tanpa kejelasan sampai si sopir "mendapatkan ilham" untuk segera menjalankan kendaraannya.
Sementara dalam situasi yang lain ada juga penumpang yang dengan ikhlas hati membayar lebih kepada seorang sopir angkot karena ingin memberi apresiasi terhadap orang lain. Terkadang ada sebagian orang yang begitu mudah memberikan simpati, disisi lain ada juga yang gampang menyinggung emosi. Tapi untuk perkara pekerjaan yang seharusnya dihargai dengan layak kita semestinya tahu diri tentang apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan.
Membayar nominal 200 perak itu sama halnya dengan mengatakan "Saya tidak sudi membayar!", padahal yang bersangkutan telah mempergunakan jasa layanan orang lain. Orang-orang dengan kepribadian semacam ini sudah bisa ditebak betapa apatisnya ia kepada orang lain. Okelah dia bisa semena-mena karena yang dihadapi adalah bapak-bapak tua sopir angkot. Lain kali kalau yang dijumpai adalah sopir angkot bergaya preman bukan tidak mungkin penumpang semacam ini akan menemui ganjarannya.
Dimanapun dan kapanpun penting sekali untuk bisa membawa diri. Melakukan perilaku yang tidak semena-mena. Bukan hanya dalam kapasitas sebagai penumpang tetapi juga sebagai sopir angkot. Perihal 200 perak ini sebenarnya ada cukup banyak pelajaran tentang bagaimana memperlakukan orang lain. Ada suatu saat dimana besaran nominal itu merepresentasikan bentuk penghormatan kita kepada orang lain yang menjalani profesinya. Ada hak dan kewajiban yang mesti dipneuhi dan ditunaikan. Karena pada akhirnya setiap aksi akan melahirkan reaksi, maka demikian pula 200 perak untuk akan mewujudkan reaksinya sendiri kelak. Terserah kita mau berlaku bagaimana.
Salam hangat,
Agil S Habib
Refferensi :
[1]