Mohon tunggu...
Agil Septiyan Habib
Agil Septiyan Habib Mohon Tunggu... Freelancer - Esais; Founder Growthmedia, dapat Dikunjungi di agilseptiyanhabib.com

Plan, Create, Inspire

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Bencana, Antara Persepsi Dosa Penguasa hingga Kurangnya Atensi Ilmiah

18 Januari 2021   13:20 Diperbarui: 18 Januari 2021   13:24 780
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Baru saja memasuki tahun 2021 tapi musibah bencana alam sudah datang menyerbu. Tidak hanya satu, tapi sudah lebih dari itu. Bencana longsong Sumedang, Banjir Kalimantan Selatan, Gempa Sulawesi Barat, Banjir dan Gelombang Tinggi Manado, Erupsi Gunung Semeru, serta Erupsi Gunung Merapi. Semoga tidak bertambah lagi. 

Menilik situasi musibah yang seperti silih berganti datang menyapa itu sikap kita sepertinya masih tidak jauh berbeda dengan sebelumnya. Menuding pihak-pihak tertentu yang bersalah termasuk menyebut dosa-dosa para penguasa. 

Padahal selain dari sisi "informal" semacam itu hendaknya kita juga bisa melihat bahwa ada aspek ilmiah yang juga tak kalah penting untuk diperbincangkan. Kita tidak cukup berpasrah bahwa ini adalah musibah dan bencana, sementara kita selaku manusia sejatinya dianugerahi potensi untuk berfikir dan berperilaku ilmiah.

"Akibat" itu terjadi oleh karena adanya "sebab". Ada reaksi karena didahului oleh aksi. Tapi sayangnya kita seringkali menyimpulkan suatu sebab dari akibat yang terjadi pada aspek yang terbatas pada hal yang "itu-itu saja". Sementara aspek ilmiah yang mampu memberikan penjelasan logis amat jarang untuk disikapi dengan nalar kritis. 

Apakah memang semua jenis musibah bencana alam itu tidak bisa dihindari? Atau kalaupun peristiwa alam yang terjadi itu memang sesuatu yang hampir pasti tidak bisa dihalangi lantas apakah tidak mungkin kiranya membuat tindakan antisipasi dan mitigasi? 

Jangan hanya terpaku pada sebutan bahwa musibah adalah sepenuhnya kehendak Sang Pencipta atau sebagai wujud hukuman bagi bangsa yang berdosa. Karena Dia tidak akan mengubah nasib suatu kaum sebelum kaum itu berusaha mengubah nasib diri mereka sendiri.

 "Seharusnya kita harus memperhatikan sisi ilmiah dalam menangkal setiap potensi bencana yang bisa kapan saja terjadi. Tidak cukup berprasangka bahwa semuanya adalah kehendak Sang Pencipta tanpa kita berbuat apapun untuk mengubah hal itu."

Saya pribadi sangat setuju dengan pernyataan Profesor Emil Salim pada cuitan twitter beliau baru-baru ini. Beliau mengatakan, "Jika bertubi-tubi masyarakat kita ditimpa bencana dan musibah, jangan cari-cari ksesalahan. Tapi cari jalan rasional ilmiah dan bertanya : Ilmu science apa yang perlu dikembangkan untuk hindari berulangnya kembali musibah dalam kehidupan bangsa kita dimasa depan?". 

Menurut saya pribadi cuitan beliau ini adalah sesuatu yang menohok bagi kita karena memang selama ini orientasi bangsa ini masih sangat jauh dari sana. Kalau dikatakan bahwa bangsa kita adalah sebuah bangsa yang religius itu memang benar. Akan tetapi hal itu tidak sepatutnya menjadi pembenaran bahwa tidak ada daya upaya agar musibah dan bencana bisa dicegah.

Kita bisa melihat bagaimana bangsa Jepang berbuat sesuatu untuk dirinya sendiri sebagai bangsa yang rentan ditimpa bencana khususnya gempa. Tapi hal itu tidak lantas membuat mereka pasrah dan mengutuk diri karena berada di lingkungan yang kini mereka tempati. Mereka berfikir ilmiah dan mencari cara dengan mengembangkan teknologi baru di berbagai bidang yang bisa menunjang eksistensi mereka. Maka lahirlah teknologi rumah tahan gempa. Dan mungkin masih ada teknologi lain dari bangsa Jepang yang sangat berperan melindungi diri mereka dari berbagai ancaman bencana.

Hampir serupa dengan negeri Belanda. Sebuah negeri di eropa yang kabarnya letak geografis tanahnya berada lebih rendah dibandingkan permukaan air laut. Daratannya lebih rendah dari lautan. Logikanya mereka akan dengan lebih mudah tenggelang dan diterjang gelombang air laut. Tapi kenyataannya negeri Belanda masih ada sampai sekarang dan teknologi bendungan yang mereka miliki termasuk salah satu yang terhebat di dunia. Bahkan mungkin sebagian diantaranya telah mereka wariskan ke Indonesia saat zaman penjajahan dahulu. Semakin canggih teknologi berkembang maka Belanda pun turut mengembangkan teknologi "perlindungan" diri mereka. Dan sekali lagi pemikiran ilmiah menjadi solusi atas ancaman bencana.

Kalau mau ditelaah satu per satu sebenarnya masih ada begitu banyak tempat di dunia ini yang kurang ideal sebagai tempat habitat hidup manusia. Tapi justru karena itulah kita selaku manusia dibekali akal untuk berpikir dan terus mencari cara. Terkait dengan musibah dan bencana yang belakangan ini terjadi di negara kita sebenarnya ada juga penjelasan ilmiahnya. Ambil contoh banjir Kalimantan Selatan. Bencana itu pasti tidak terjadi dengan sendirinya. 

Ada peran serta manusia disana seperti penggundulan hutan hingga perilaku yang membuat "hak-hak air" terabaikan. Penuntasannya tidaklah sekadar seruan "Jaga dan Lindungi Hutan Kita." saja, tetapi gagasan-gagasan ilmiah yang sekiranya bisa mencegah agar bencana itu tidak sampai terjadi juga perlu dilakukan. Begitu juga dengan bencana gempa yang terjadi di Sulawesi Barat. Bisa jadi suatu hari nanti akan ada teknologi yang bisa memprediksi secara akurat dimana dan kapan akan terjadi gempa. 

Saat ini mungkin kita mengatakan bahwa hal itu mustahil, karena riset yang yang ada di negara kita sepertinya juga belum pernah fokus kesana. Mengatakan bahwa mustahi; untuk membuat teknologi yang bisa memprediksi, mengantisipasi, atau setidaknya menanggulangi efek bencana sama seperti ketika dulu kita mengatakan mustahil untuk berbicara dengan orang lintas benua. Tapi nyatanya apa? Internet memungkinkah hal itu.

Sepertinya kita harus mulai menggeser paradigma berpikir kita sehingga lebih ilmiah. Menyikapi bencana alam tidak hanya dari satu sudut pandang saja. Terlebih apabila hanya menganggap bahwa musibah itu adalah "kutukan". Selama kita memiliki akal dan nalar untuk berfikir dan menciptakan gagasan-gagagasan baru terkait teknologi penangkal bencana, maka seharusnya kita mampu melihat dengan lebih optimis bahwa senantiasa ada hikmah dibalik musibah. Keterbatasan yang timbul akan menjad stimulus lahirnya hal baru yang luar biasa. Dan dalam hal ini kita sudah melihat betapa manusia sangat luar biasa untuk melewati batasan-batasan yang oleh sebagian orang dianggap mustahil dilawan.

Pentingnya Riset dan Pengembangan Teknologi Anti Bencana

Alam akan selalu melakukan proses seleksinya. Mereka yang mampu beradapatasi akan bisa bertahan. Demikian juga sebaliknya. Kita mungkin sering membanggakan betapa kayanya Indonesia. Tapi kita lupa bahwa kita juga memiliki potensi lain berwujud bencana. Gempa, tsunami, gunung meletus, dan lain sebagainya. 

Kita tinggal di sekeliling wilayah cincin api yang membuat kita akrab dengan bencana. Tapi sayangnya hal itu kurang mendapatkan porsi perhatian. Riset-riset ke arah sana masih terbilang kurang atau mungkin terabaikan. Teknologi pengantisipasi bencana justru lebih banyak menunggu pengembangan dari bangsa luar. Padahal kita seharusnya bisa membuatnya dalam versi yang lebih baik.

Pemerintah dari masa ke masa begitu getol menjadikan pertumbuhan ekonomi sebagai slogan. Mengebut pembangunan infrastruktur. Menjanjikan swasembada pangan. Tapi hampir tidak pernah terdengar ada yang menjanjikan perkembangan teknologi secara masif di berbagai lini. Kita masih hanya menjadi penikmat teknologi, bukan penggagas. 

Ketika dulu (almarhum) Pak Habibie dengan luar biasa menciptakan pesawat terbang buat sendiri, tiba-tiba hal itu tenggelam tak tahu rimbanya. Sementara dalam hal teknologi lain kita sebatas menanti atau menunggu kebaikan hati bangsa lain mengirimkan hasil karyanya untuk kita. Mengapa kita tidak berusaha mengembangkan sendiri semua teknologi utamanya yang menyangkut aspek ilmiah pencegahan dan penanggulangan bencana? Jangan melulu berkutat pada persoalan birokrasi.

Riset-riset ilmiah seharusnya digalakkan. Gelontoran dana mungkin harus lebih digencarkan agar anak-anak bangsa sendiri bisa menemukan teknologi paling mutakhir untuk kesejahteraan bangsa ini. Kita harus lebih aktif untuk mengembangkan teknologi terapan yang mampu menunjang berbagai bidang. Lebih khusus yang menyangkut riset ilmiah mengenai teknologi penangkal bencana. 

Sehingga bangsa ini menjadi lebih tahu apa yang harus diperbuat untuk meminimalkan jumlah korban bencana, menyelamatkan sebanyak mungkin nyawa manusia, atau bahkan menjadi pusat rujukan bangsa-bangsa di dunia dalam mengembangkan teknologi anti bencana.

Salam hangat,

Agil S Habib

Refferensi :

[1]; [2]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun