Organisasi Front Pembela Islam (FPI) secara resmi telah dibubarkan oleh pemerintah beberapa waktu lalu. Meski hal itu terus menuai polemik hingga saat ini tetapi segala atribut "berbau" FPI sepertinya sudah dilarang untuk nampang ke muka publik. Aktivitas sweeping yang dulu cukup sering diberitakan media rasa-rasanya kini akan sulit untuk terlihat lagi.Â
Meski organisasi pengganti yang menggunakan nama inisial mirip, Front Pemersatu Islam, Front Persaudaraan Islam, atau barangkali nama-nama sejenis lainnya tetap belum bisa menggantikan status keberadaan FPI mengingat legalitasnya yang masih "mengambang".Â
Bahkan eks FPI sendiri kini justru sibuk dengan urusan lain dimana imam besarnya, Habib Rizieq Shihab (HRS) tersangkut kasus hukum sebagai tersangka pemicu kerumunan hingga menghalangi penyidikan satgas COVID-19.Â
Sementara FPI sendiri sebagai sebuah organisasi tengah dibekukan beberapa rekening pendanaannya sehingga sumber dana yang dulu ada seolah kini sirna. Bukan tidak mungkin pembekuan rekening inilah yang menjadikan FPI semakin sulit untuk bergerak dan membangkitkan dirinya kembali.
"Sebuah simbol organisasi tidak layak dijadikan sebagai alasan seseorang untuk menjadi relawan peduli bencana. Siapapun, kapanpun, dan dimanapun bisa turut serta menyalurkan kepeduliannya mesti tanpa naungan sebuah organisasi resmi. Yang terpenting adalah niatan untuk membantu serta meringankan beban orang lain yang tertimpa musibah dan bencana itu."
Narasi pemberitaan dari sekelompok orang yang mendukung keberadaan FPI seringkali mengunggah informasi terkait betapa pedulinya FPI terhadap masyarakat yang tertimpa musibah bencana.Â
Para relawan dari FPI seringkali muncul dalam masa-masa krisi tersebut menjadi dewa penolong yang bahu-membahu meringankan penderitaan rakyat. Sebuah aksi yang patut dipuji dan diapresiasi tentunya.Â
Lantas ketika FPI dibubarkan oleh negara sementara di sisi lain tengah terjadi juga beberapa musibah bencana alam yang menimpa negeri ini, ada yang mengabarkan bahwa relawan bencana terlihat lebih minim jumlahnya daripada waktu-waktu terdahulu.Â
Mereka menyinggung bahwa inilah efek dari pembubaran FPI dimana pemerintah yang seharusnya berterima kasih karena dibantu oleh para relawan FPI menanggulangi dampak bencana kini harus bekerja sendiri dan sampai mencari bala bantuan. Negara telah kehilangan FPI. Paling tidak seperti itulah opini yang ingin dibangun para simpatisan FPI kepada publik.
Dalam banyak peristiwa dimana terjadi bencana yang menimpa suatu kawasan negeri ini bisa jadi relawan FPI muncul di sana. Turut membantu aparat dan juga masyarakat untuk terlibat dalam setiap proses penanganan pasca bencana. Namun ketika FPI sebagai sebuah organisasi hilang dan kemudian dihubungkan dengan kurangnya tenaga relawan bencana rasa-rasanya hal itu justru aneh. Mengapa?Â
Menjadi seorang relawan bencana jelas-jelas merupakan bentuk pengabdian terhadap kemanusiaan. Mereka seharusnya berjuang bukan demi memperkenalkan organisasinya, tetapi semata-mata untuk menjadikan diri sebagai manusia yang bermanfaat bagi sesama.Â
Seharusnya tanpa adanya embel-embel logo atau simbol organisasi manapun seseorang yang tergerak hatinya untuk menjadi relawan akan tetap bergerak dan berjuang ke sana. Karena setiap kebaikan tidak butuh alasan yang terkait dengan simbol-simbol semacam itu. Semua hendaknya didasarkan sebagai sarana ibadah dan pengabdian kepada Sang Pencipta.