Mohon tunggu...
Agil Septiyan Habib
Agil Septiyan Habib Mohon Tunggu... Freelancer - Esais; Founder Growthmedia, dapat Dikunjungi di agilseptiyanhabib.com

Plan, Create, Inspire

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Kedelai Langka, Apa Kabar Program "Food Estate" Prabowo?

7 Januari 2021   07:53 Diperbarui: 7 Januari 2021   17:19 623
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Selama beberapa waktu terakhir khususnya selepas memasuki periode pergantian tahun terjadi sesuatu yang cukup luar biasa. Makanan yang selama ini akrab dengan rakyat kecil yaitu tahu dan tempe seketika sering menghilang dari pasaran. 

Usut punya usut ternyata hal itu disebabkan oleh mahalnya harga kedelai yang tak lain merupakan bahan baku utama dari kedua jenis makanan tersebut. 

Pasokan yang langka mau tidak mau menjadikan hukum ekonomi berlaku. Harga semakin mahal mengingat yang berburu bahan tersebut banyak sementara stok untuk memenuhi jumlahnya terbatas. Dan yang paling merasakan efek negatif dari kondisi ini tentu saja para pengusaha tahu tempe serta orang-orang yang setiap harinya hanya mengandalkan tahu tempe sebagai lauk makan sehari-hari. 

Jikalau untuk membeli lauk tahu tempe saja sudah berat, lalu bagaimana bisa membeli jenis lauk lain yang umumnya memang lebih mahal? Mungkin opsinya hanya menyantap ikan asin saja. Sungguh sebuah ironi.

"Kacang kedelai mungkin sepintas terlihat sebagai komoditas yang sederhana. Namun kelangkaan yang terjadi beberapa waktu terakhir ini menunjukkan bahwa betapa kita masih bergantung pada impor dari negara lain. Program lumbung pangan yang digadang-gadang bisa meningkatkan kualitas ketahanan pangan kita ternyata belum menampakkan kontribusinya. Entah karena belum berjalan atau karena memang terabaikan begitu saja."

Di negara agraris seperti Indonesia sebenarnya sangat aneh tatkala kelangkaan semacam ini terjadi. 

Masyarakatnya banyak yang bertani, meskipun memang selama beberapa waktu terakhir terus menurun jumlahnya. Tapi seharusnya hal itu tidak menghalangi kenyataan bahwa tanah kita subur dan mampu untuk menelurkan kedelai-kedelai kualitas terbaik. 

Adakah yang salah dengan hal ini? Ditengarai bahwa para petani di Indonesia banyak yang "ngambek" untuk mengembangkan pertaniannya seiring derasnya keran impor produk-produk pertanian yang salah satunya adalah kedelai. 

Mereka merasa imbal balik yang didapat kurang sebanding dengan jerih payah yang mereka keluarkan.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2018 lalu saja memaparkan produksi kacang kedelai dalam negeri hanya mencapai 982.598 ton. Sedangkan menurut data Departemen Pertanian Amerika Serikat (USDA) selaku salah satu negara pengimpor kacang kedelai ke Indonesia, produksi kedelai dalam negeri Indonesia hanya mencapai 520.000 ton dalam rentang periode Oktober 2018 - Oktober 2019. 

Padahal jumlah konsumsi kita mencapai 3,07 juta ton. Dengan kondisi semacam itu maka jelas impor akan menjadi opsi bagi pemerintah Indonesia.

Lantas mengapa para petani kita tidak diarahkan untuk menanam kedelai mengingat besarnya permintaan pasar yang begitu besar? Seperti sudah disinggung sebelumnya bahwa bertani kacang kedelai dinilai tidak terlalu menguntungkan para petani. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun