Sepertinya sudah cukup lama saya menghindari untuk menanggapi isu-isu politik yang belakangan berkembang. Namun, rasanya gatal sekali melihat pemberitaan yang belakangan beredar utamanya terkait Menteri Sosial (Mensos) baru Ibu Tri Rismaharini yang dikabarkan baru-baru ini seolah "mengevaluasi" kinerja Gubernur DKI Jakarta saat ini, Anies Baswedan.Â
Risma yang begitu berprestasi saat memimpin Surabaya seperti dinarasikan sebagai pahlawan baru yang bisa mengubah wajah Jakarta melalui posisi barunya saat ini. Bahkan tidak sedikit yang menggembar-gemborkan bahwa Risma kelak akan menggeser posisi Anies Baswedan dari kursi Gubernur DKI Jakarta.Â
Situasi semacam ini menurut saya sebenarnya bukanlah memperbaiki situasi, justru sebaliknya. Risma dan Anies yang sebelumnya terlihat baik-baik saja kini seolah-olah sedang berhadap-hadapan dalam sebuah kontestasi memikat hati publik.
"Risma, Anies Baswedan, dan para pemimpin lainnya memiliki caranya masing-masing dalam mengelola tugas dan tanggung jawabnya. Berikan kesempatan mereka bekerja dan jangan hanya bisa menjadi kompor yang memanaskan situasi sementara nihil esensi."
Sebenarnya sah-sah saja apabila Bu Risma ingin meninjau situasi yang terjadi di salah satu penjuru republik ini. Pertanyaannya mengapa harus di Jakarta? Mengapa tidak memulai dari daerah lain yang sebenarnya juga patut mendapatkan atensi serupa dari sosok selevel mensos? Apakah hanya karena alasan kalau DKI Jakarta adalah tempat paling dekat untuk dikunjungi?Â
Apakah sosok Anies memang sebegitu menariknya untuk menjadi sasaran mengerek popularitas? Barangkali ceritanya akan berbeda seandainya Bu Risma memilih daerah diluar Jakarta sebagai sasaran tempatnya blusukan.Â
Mungkin apabila Bu Risma memilih titik awal memulai pekerjaan lapangan sebagai mensos di salah satu wilayah Jawa Timur kondisinya akan sedikit berbeda. Biarpun tidak menutup kemungkinan akan dibenturkan juga dengan Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansah. Terlebih ingatan publik pasti masih mengenang momen drama ambulan untuk penanggulangan COVID-19 di Surabaya / Jawa Timur beberapa waktu lalu.
Kalau boleh dibilang sebenarnya bukan Risma, bukan Anies Baswedan, bukan Khofifah, dan bukan pejabat lain yang wilayahnya menjadi sasaran kerja mensos, namun pemberitaan yang ingin membuat dramalah akar masalahnya. Kalau tidak ada perseteruan rasanya berita kurang hangat untuk disajikan ke hadapan publik. Sementara disisi lain hal itu justru semakin menciptakan kesan betapa sulitnya petinggi bangsa ini untuk akur.
Aksi blusukan Risma di kolong tol kawasan DKI Jakarta tentunya memiliki maksud baik. Namun tidak semestinya hal itu menjadi bagian dari berita untuk mendramatisir situasi. Jika dirasa ada yang kurang beres dari kondisi yang ditinjau ibu mensos, bukankah lebih baik jikalau semua pihak terkait duduk bersama mencari solusi penuntasannya?Â
Saya yakin masih ada banyak PR lain dari pemerintah daerah DKI Jakarta yang mesti dituntaskan terkait dengan ranah sosial yang bersinggungan dengan cakupan kerja Bu Risma selaku mensos. Tapi setiap celah yang ada bukanlah peluang untuk menciptakan drama dan kehebohan lain.Â
Hal ini seharusnya menjadi bahan pembicaraan yang lebih produktif serta solutif yang mengena pada inti persoalan. Mungkin sebaiknya publik tidak perlu banyak tahu kisah-kisah dramatis dari aksi mensos yang memang gayanya seperti itu. Biarkan Bu Risma bekerja dengan caranya, demikian juga Pak Anies Baswedan.Â
Tugas seorang pemimpin adalah mencarikan jalan keluar, bukan menjadi pelaku drama publik yang cuma bisa mengompori masyarakat untuk saling membenci satu sama lain.