Mohon tunggu...
Agil Septiyan Habib
Agil Septiyan Habib Mohon Tunggu... Freelancer - Esais; Founder Planmaker99, dapat Dikunjungi di agilseptiyanhabib.com

Think Different, Create Excellent

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

UMP Tidak Naik, Tepatkah Bermalasan Kerja sebagai Bentuk Protes?

7 November 2020   09:46 Diperbarui: 7 November 2020   09:57 114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Kecewa boleh. Tapi jangan sampai kekecewaan itu mengorbankan kredibilitas kita sebagai pribadi yang berkualitas. Tunjukkan dengan cara yang bijaksana dalam mengutarakan aspirasi dan harapan." 

Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah sudah memutuskan bahwa Upah Minimum Provinsi (UMP) tahun 2021 besarannya akan sama dengan tahun 2020 ini, atau dengan kata lain tidak mengalami kenaikan. Meskipun beberapa gubernur provinsi "membangkang" ketetapan sang menteri dengan tetap menaikkan UMP, namun bagi kawasan lain yang tetap "mematuhi" anjuran bu menteri sepertinya hal itu bukan merupakan kabar yang mengenakkan untuk didengar.

Wacana demonstrasi sudah disiapkan serikat pekerja untuk melawan kebijakan yang sebenarnya dimaksudkan untuk pemulihan ekonomi akibat efek pandemi ini. Mereka merasa bahwa apabila UMP tidak dinaikkan sedangkan biaya kebutuhan hidup terus merangkak naik maka hal itu akan semakin membebani mereka. Sehingga bagaimanapun kebijakan tersebut harus ditentang, dilawan, dan dibatalkan.

Mungkin ada sebagian pekerja yang tidak keberatan terhadap keputusan tidak naiknya UMP tahun depan. Namun sepertinya hal itu hanya terjadi pada kelompok minoritas saja. Bukan tidak mungkin mereka yang legowo itupun masih memendam harapan bahwa UMP tetap akan naik sebagaimana tahun-tahun sebelumnya. Sedangkan bagi kelompok yang menolak keras kebijakan ini sepertinya akan terus melakukan gerakan perlawanan. Demonstrasi, mogok kerja, bahkan gugatan hukum akan dilayangkan sebagai upaya perlawanan. Jikalau semua upaya tersebut menemui tembok tebal maka bisa jadi muncul satu sikap yang tidak kita inginkan bersama. Bermalas-malasan dalam bekerja atau asal kerja.

Lantas apa masalahnya jikalau hal semacam ini sampai terjadi? Bagi pemilik usaha tentu merupakan suatu kerugian tatkala performa atau produktivitas kerja karyawannya menurun. Ongkos yang mereka keluarkan untuk menggaji pegawai terasa tidak sepadan dengan efisiensi serta produktivitas kerja yang mereka harapkan. Jikalau hal ini terus terjadi maka sepertinya surat peringatan atau surat teguran akan bertebaran menyasar para pekerja dalam jumlah relatif banyak. Ujung-ujungnya bisa mengarah pada Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Dengan demikian sebenarnya kedua belah pihak sama-sama merugi.

Dari sudut pandang pekerja, bermalas-malas selain bisa berujung pada penilaian yang buruk dari perusahaan hal itu sebenarnya juga merusak "citra diri" seseorang. Bagaimanapun juga sebuah sikap malas yang dibiarkan berlarut-larut akan "menular" pada aspek kehidupan yang lain. Seseorang yang malas dalam kehidupan sehari-hari biasanya terepresentasi dalam melaksanakan pekerjaannya, demikian pula sebaliknya.

Saat kemalasan itu disengaja dalam pekerjaan entah itu sebagai luapan kekecewaan ataupun bentuk protes maka bisa jadi kehidupan kita yang lain akan turut terimbas karenanya. Yang biasanya senang mengerjakan pekerjaan rumah menjadi enggan. Yang biasanya rajin ikut kerja bakti menjadi ogah-ogahan. Yang biasanya suka membantu pekerjaan suami / istri di rumah menjadi kehilangan gairah melakukannya. Mengapa? Karena kemalasan itu menular. Kita memiliki muscle memory yang sama untuk satu kebiasaan.

Malas dan rajin itu bukan dua jenis kebiasaan yang berbeda muscle memory-nya. Apabila satu kebiasaan menguat maka kebiasaan yang lain melemah. Jika kebiasaan rajin menguat, maka kebiasaan malas melemah. Begitu juga sebaliknya. Ketika kemalasan itu dibiarkan dengan alasan apapun maka lambat laun muscle memory akan cenderung mengarah kesana. Sehingga aktivitas apapun yang terkait dengan sikap malas dan rajin akan terimbas juga.

Kekecewaan terhadap tidak naiknya UMP jangan sampai membuat kita lantas menyerah terhadap keadaan serta melakukan tindakan yang justru "membahayakan" diri kita sendiri. Kemalasan itu berbahaya karena bukan satu aspek kegiatan saja yang dikorbankan, melainkan aspek-aspek yang lain pun turut terkena dampaknya. Sehingga sayogyanya kita tetap berusaha dan bekerja dengan sebaik mungkin. Ketidaksetujuan kita terhadap sesuatu hal bukan berarti mengiizinkan kita untuk "merusak" diri sendiri.

Bukan berarti tidak naiknya gaji sama dengan tidak naiknya rezeki. Gaji hanyalah salah satu infrastruktur rezeki yang dibuatkan Tuhan untuk kita. Ingat, HANYA salah satu. Masih banyak infrastruktur lain yang diberikan-Nya kepada kita selama kita terus berusaha. Hukum aksi -- reaksi akan senantiasa berlaku. Dan ini merupakan sesuatu yang berlaku universal.

Bekerja dengan giat, berupa yang terbaik dalam kadar kemampuan yang dimiliki, selebihnya biar diurus oleh Sang Maha Pemberi Rezeki. Jikalau ayam saja sudah dijamin rezekinya, maka mengapa tidak untuk kita sebagai manusia? Pada akhirnya keyakinan kitalah yang menentukan bagaimana cara kita memandang sesuatu. Dan cara pandang itulah yang kemudian mengatur gerak langkah kita untuk berbuat apa dan bagaimana. Sekarang tinggal pilihan kita mau melakukan apa. Tetap do the best terhadap pekerjaan atau menyerah pada keadaan?


Salam hangat,

Agil S Habib

Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun