Penunjukan Meneteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan sebagai ketua tim penanganan COVID-19 ketimbang Menteri Kesehatan (Menkes) Terawan yang bertugas untuk menurunkan angka kasus baru, penurunan mortality rate, dan peningkatan recovery rate dalam rentang waktu dua minggu seakan mengulang pakem kebijakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebelumnya seperti saat lebih mengedepankan sosok Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto ketimbang Syahrul Yasin Limpo selaku Menteri Pertanian (Mentan) guna menajdi penanggung jawab proyek ketahanan pangan nasional.
"Silang" penugasan tersebut semakin mengesankan bahwa sebenarnya Presiden Jokowi kurang begitu mempercayai sebagian menterinya yang lain. Ketika beberapa kali isu reshuffle menyeruak, hal itu bisa jadi dilandasi oleh rasa kecewa presiden terhadap kinerja beberapa menterinya. Namun apadaya sepertinya ada "tangan-tangan ghaib" yang mencampuri urusan presiden sehingga keinginan tersebut urung terlaksana.
Kinerja Menkes Terawan selama masa pandemi COVID-19 memang sangat-sangat buruk dan tidak jelas arah kerjanya. Beberapa lembaga survei pun menyebut bahwa menkes sepatutnya digantikan dengan sosok yang lain. Sehingga tidak terlalu mengherankan ketika Luhut lebih dipercaya karena mungkin memiliki kinerja yang "sedikit" lebih baik ketimbang Terawan.
Seandainya bisa memilih dan benar-benar leluasa memutuskan kebijakannya barangkali Terawan sudah sejak lama diganti oleh Presiden Jokowi. Tapi kenyataan menunjukkan bahwa sang menteri masih terus bertahan pada jabatannya hingga kini. Entah prestasi apa yang membuat beliau layak untuk tetap dipertahankan hingga sekarang.
Ada kesan bahwa Presiden Jokowi memiliki penerjemah yang terbatas dalam melaksanakan kebijakannya. Tidak semua menteri mengerti titahnya atau setidaknya belum mampu menerjemahkan apa yang menjadi keinginannya. Frustasi.
Presiden akhirnya hanya bisa marah-marah kepada tim kerjanya dengan disiarkan ke hadapan publik. Agar publik tahu bahwa presiden mereka sebenarnya memiliki visi yang hendak dikerjakan. Namun hal itu terhambat oleh cara kerja yang belum sesuai ritme yang diharapkan. Apakah itu karena kapasitas menterinya yang terbatas, arahan yang tidak jelas, birokrasi yang menghambat, atau karena ada pihak tak terlihat yang suka ikut campur sehingga mengacaukan pekerjaan yang sudah direncanakan sebelumnya.
Siapa yang bisa memperbaiki keadaan ini? Tentunya Presiden Jokowi sendiri. Beliau memiliki mandat konstitusi yang memungkinkannya untuk mengambil tindakan-tindakan yang dibutuhkan. Kalaupun hal itu tidak populer bagi kalangan pendukungnya sendiri, selama masih berpihak pada kepentingan rakyat maka seharusnya beliau tidak perlu ragu melakukannya.
Yang dibutuhkan sekarang bukanlah kebijakan populis, melainkan kebijakan yang solutif. Jika perlu orang baru untuk mengerjakan sebuah kebijakan, lebih baik segera eksekusi saja. Saling silang peran ujung-ujungnya membuat keruwetan lain yang hanya akan membuat pusing sendiri para pemegang otoritasnya.
Salam hangat,
Agil S Habib
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H