Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN), Zulkifli Hasan (Zulhas), beberapa waktu yang lalu menerima kunjungan dari calon walikota Solo yang sekaligus putra Presiden Joko Widodo (Jokowi), Gibran Rakabuming.Â
Dalam kesempatan tersebut Zulhas menyatakan dukungannya kepada Gibran sekaligus menyediakan dirinya sebagai mentor politik bagi sang putra sulung presiden itu. Selama beberapa waktu terakhir ini sosok Gibran memang ramai dibicarakan setelah niatannya untuk maju sebagai calon walikota Solo direstui oleh partainya.Â
Bahkan pengurus pusat Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) sendiri yang mengukuhkan keputusan itu. Bahkan meski harus "menyingkirkan" figur lain yang telah lebih dahulu diusung oleh PDIP wilayah Solo, Achmad Purnomo.Â
Akibat dari hal ini tudingan tentang politik dinasti pun mengemuka. Sematan oligarki politik pun diberikan seiring munculnya orang-orang dekat penguasa yang "latah" untuk maju menduduki jabatan strategis pemerintahan.
Sesepuh sekaligus salah satu sosok pendiri PAN, Amien Rais, sepertinya tidak bisa menahan diri untuk turut berkomentar terhadap sikap yang ditunjukkan oleh Zulhas yang terkesan mendukung oligarki politik tersebut.Â
Dalam unggahan twitternya Amien Rais menyinggung sejarah berdirinya PAN yang disebutnya adalah untuk melawan oligarki politik, tapi sekarang justru menyakiti basis ideologis pemilihnya. Ternyata PAN termasuk sebagai bagian dari "kubu" pendukung oligarki politik. PAN telah berubah. Mungkin seperti itu ungkapan singkat dari Amien Rais.
Tapi sikap yang ditunjukkan oleh Zulhas sebenarnya hanyalah sebuah penegasan seperti apa dunia politik kita saat ini. Sebuah idealisme hanyalah barang murah yang dengan mudah ditukar oleh kepentingan dan pragmatisme. Sangat sulit menyebut ada partai yang benar-benar memegang teguh ideologinya.Â
Sikap politik bisa berubah sesuai situasi dan kondisi. Tergantung kebutuhan. Ataukah memang untuk tetap bertahan dalam fitrah dan konsistensi politik memang terasa begitu sulit untuk dilakukan? Bisa jadi.Â
Terkadang merasa aneh saja tatkala melihat ada parpol yang begitu bertentangan di level pusat tapi akur di daerah. Saling lempar narasi kritik di satu tataran, namun berbalas puji pada tataran yang lain. Sepertinya memang yang abadai dalam politik itu sebatas kepentingannya saja. Tidak lebih.
Amien Rais mungkin kecewa dengan sikap Zulhas berikut "mantan" partainya itu. Namun memang seperti itulah potret yang bisa kita lihat saat ini. Sepertinya memang sulit untuk menemukan partai yang bisa dipegang idealismenya. Apalagi tatkala mereka dekat dengan lingkungan kekuasaan.Â
Tidak mengherankan jumlah partai politik di Indonesia bejibun jumlahnya. Semua mengatakan punya idealismenya masing-masing. Yang pada kenyataannya masih harus diuji kembali kebenarannya. Banyak partai mungkin menawarkan banyak sisi idealisme, tapi juga memiliki kesamaan untuk bersikap pragmatis kala aroma kekuasaan mendekat.