Pandemi COVID-19 yang melanda dunia sejak beberapa bulan terkahir ini telah menghadirkan dua dimensi berbeda dalam kehidupan kita. Dimensi pertama menilai pandemi COVID-19 sebagai sumber nestapa.Â
Namun dimensi yang lain menyebutnya sebagai pembangkit kesadaran bahwa teknologi digital memegang peranan penting dalam menunjang eksistensi di era ini serta pada periode-periode mendatang. S
aat kita melihat adanya begitu banyak bisnis yang ambruk dan sebagian orang kehilangan pekerjaan, pada kesempatan yang lain kita menyaksikan para pelaku bisnis berbasis digital justru mengeruk keuntungan mewah. Mereka seakan menemukan momentum melalui pandemi ini untuk melejitkan diri dan komunitasnya.
Sebenarnya sebelum pandemi melanda, tanda-tanda akan peran penting teknologi digital sudah terlihat. Hanya saja masih sebagian kalangan saja yang menyadarinya.Â
Ditambah lagi masih tersematnya paradigma lama bahwa bertahan di era analog masih cukup menyisakan kesempatan, sehingga tidak perlu terburu-buru go digital. Ketika pandemi melanda dengan begitu cepat, mereka yang masih terpaku dengan ke-analog-kannya seperti terkaget-kaget.Â
Merasa seolah-olah bahwa ini semua adalah mimpi. Tanpa pertanda apa-apa kita dikajutkan dengan sebuah badai perubahan teramat besar dan cepat. Menuntut diri kita untuk bergegas berubah atau musnah. Dan perubahan itu dengan jelas membawa kita pada suatu kesadaraan untuk memanfaatan sumber daya digital dengan sebaik-baiknya. Permasalahannya, sudahkah kita siap untuk itu?
Para Influencer
Sebuah iklan yang "numpang lapak" di laman instagram bintang sepakbola dunia Cristiano Ronaldo (CR7) dibanderol sebesar US$ 975 ribu atau setara 14.2 miliar rupiah (kurs 1 dollar = Rp 14.600,-). Dengan besarnya atensi publik dan daya jual sang bintang, bisa dibayangkan betapa besar penghasilan yang ia miliki hanya dari media sosial (medsos) saja.
Mungkin tidak perlu terlalu jauh menjadikan CR7 sebagai referensi. Salah seorang teman yang kebetulan berwirausaha menjadikan medsos sebagai media promosi produk-produk miliknya. Ia mempergunakan endorse publik figur guna menyampanyekan produk-produk miliknya kepada netizen.Â
Hanya memakai jasa seorang figur yang tergolong "biasa-biasa" saja rekan tadi harus merogoh kocek setidaknya Rp 8 juta untuk sekali endorse. Sebuah harga yang tidak bisa dibilang murah.Â
Tentunya juga bukan penghasilan yang kecil bagi seseorang yang hanya sebatas mempromosikan sebuah produk via medsos. Bisa dikatakan bahwa menjadi endorser itu cukup menguntungkan secara ekonomis.