Setiap orang akan mengalami periode transformasi didalam dirinya. Terutama terkait pola pikir dan cara pandang terhadap lingkungan dan orang lain. seorang anak TK tentu berbeda pemikiran dan cara pandangnya dengan anak SD. Demikian pula dengan anak SMP, SMA, hingga para mahasiswa di kampus.
Semasa kuliah dulu, para senior seringkali menekankan akan arti penting merubah pola pikir dari siswa ke mahasiswa. Cara menyikapi suatu kondisi yang jelas sangat berbeda dari waktu ke waktu. Menuntut cara bersikap yang tentunya juga berbeda dalam setiap periode tumbuh kembang kita.
Pendewasaan diri adalah sebuah keniscayaan bagi setiap orang di dunia ini, meski tingkat kecepatannya juga bisa jadi berbeda-beda antara satu dengan yang lain.
Beranjak lebih lanjut terkait pertumbuhan seseorang yang awalnya hanyalah seorang peserta didik lantas berubah menjadi manusia yang memikul tanggung jawab untuk menjadi tulang punggung keluarga. Bekerja. Baik itu sebagai seorang pekerja yang mendedikasikan diri atau sebagai pengusaha yang berkembang secara mandiri.
Orientasi kita dalam hal ini adalah bekerja mencari nafkah, memiliki sumber penghasilan, atau mewujudkan impian jangka panjang. Hanya saja "dunia baru" ini ternyata sangatlah berbeda apabila dibandingkan dengan masa-masa ketika kita hanya dituntut untuk belajar, mengerjakan tugas mata pelajaran, membayar biaya pendidikan, dan lain sebagainya.
Ada beberapa hal dari identitas lama kita sebagai seorang pembelajar yang bisa jadi masih sangat berguna dalam menunjang kehidupan baru sebagai seorang pekerja. Dan sebaliknya juga terdapat beberapa hal yang perlu untuk dievaluasi ulang karena bisa jadi hal itu justru menghambat kinerja kita untuk memberikan dedikasi terbaik terhadap pekerjaan.
Berikut ini adalah beberapa hal yang sekiranya perlu untuk kita pertahankan serta juga dihilangkan sehingga periode kehidupan kita yang baru sebagai seorang pekerja ini menjadi lebih baik.
Hal-hal yang Perlu Dipertahankan :
Solidaritas Pertemanan dan Jalinan Keakraban dengan Rekan Sejawat (Humbel)
Dunia sekolah umumnya memungkinkan satu orang dengan yang lain untuk saling menjalin keakraban. Main bareng, nognkrong bareng, diskusi bareng, bahkan dimarahi guru juga bareng-bareng.
Apalagi saat ada kompetisi atar kelas atau antar sekolah / kampus, rasa kebanggaan terhadap almamater cenderung membumbung tinggi. Sehingga pertemanan yang terjalin diantara para peserta didik umumnya tidak terbatas saat mereka berada di lingkungan kelas semata. Saat di luar pun jalinan itu tetap kuat.
Tidak mengherankan apabila ada seseorang yang begitu berteman akrab dengan rekan satu bangkunya, satu kegiatan ekstrakurikuler, satu organisasi, dan lain sebagainya. Saling bermain mengunjungi kediaman satu sama lain pun juga seringkali terjadi.
Hal-hal semacam ini membuat kita yang pernah mengalami periode pendidikan pasti merasa itu sebagai sebuah kenangan yang istimewa pernah dijalani. Sesuatu yang belum tentu didapatkan saat kita sudah berada di lingkungan baru pasca lulus.
Sebagian tempat kerja mungkin masih bisa menghadirkan suasana akrab layaknya kita saat berada dalam satu kelas dahulu. Namun tekanan yang terjadi di dunia kerja membuat seseorang cenderung bersikap individualistis sehingga tidak jarang memendam jengkel kepada sesama rekan kerjanya.
Secara prinsip semangat kekeluargaan memang harus dihadirkan dalam dunia kerja. Akan tetapi hal itu sepertinya tidak semudah yang dikira. Menciptakan koneksi yang bersahabat antar sesama rekan rekan akan sangat menunjang produktivitas serta kondusivitas lingkungan kerja itu sendiri.
Berfikir Kritis Dalam Menyikapi Suatu Kondisi
Seorang pembelajar sejati akan selalu diidentikkan dengan cara berfikir yang kritis terhadap sesuatu hal. Apabila ada materi pelajaran yang menurutnya janggal, maka akan ditanyakan kepada para pengajar untuk mencari tahu sebab musebab perihal mengapa itu bisa terjadi.
Logika berfikir seorang peserta didik benar-benar diasah untuk tidak serta merta membiarkan sesuatu dengan apa adanya. Nalar teramat penting untuk melihat fakta dan realita dari suatu peristiwa.
Demikian halnya dalam suatu pekerjaan. Setiap cara kerja, metode, standar operasional, bahkan strategi manajerial suatu organisasi bukanlah sesuatu yang kaku.
Diperlukan adanya sikap kritis dalam memandang sesuatu supaya terjadi perbaikan yang berkesinambungan. Merasa bahwa semua sudah baik dan sempurna adalah cara berfikir yang harus dihindari karena bagaimanapun tidak ada yang sempurna di dunia ini.
Dunia kerja membutuhkan pandangan bahwa sesuatu selalu bisa diupayakan untuk menjadi lebih baik lagi dari waktu ke waktu. Dan oleh karenanya cara berfikir kita yang kritis akan sangat menunjang supaya hal semacam ini terjadi.
Berani BerargumenÂ
Saat aktivitas belajar di sekolah atau kampus biasanya guru atau dosen pengajar akan memberi kita kesempatan untuk berdiskusi satu sama lain untuk mengomentasi suatu kasus.
Demikian juga saat kita terlibat aktif dalam suatu organisasi sekolah ataupun kemahasiswaan kita seringkali dihadapkan pada situasi dimana kita mesti menyampaikan padangan, gagasan, dan ide yang kita miliki demi menuntaskan suatu persoalan.Â
Pandangan setiap orang akan menciptakan sebuah gagasan yang benar-benar mengayomi segenap orang yang berada disana. Menghadirkan hal baru yang menjadi solusi terbaik bagi semuanya.
Saat kita memasuki lingkungan pekerjaan, kita tidak akan pernah mendapati semuanya berjalan sempurna sepanjang periode kita berada disana. Akan ada saat-saat dimana kita sebagai pekerja dituntut untuk membuat suatu perubahan dan membuat terobosan baru. Terkadang sebuah tim dibentuk untuk berdiskusi, dan lebih sering setiap pekerja dipertemukan dalam sebuah rapat untuk menemukan akar masalah serta merumuskan solusi terbaik atas masalah itu.
Kita sebagai bagian dari tim tentu tidak bisa sekadar numpang duduk atau "setor" muka saja setiap kali kesempatan itu ada. Argumentasi kita dalam memahami suatu persoalan bisa jadi sangat berguna untuk menuntaskan permasalahan itu secara keseluruhan. Semakin banyak pandangan kita yang berimplikasi baik terhadap pekerjaan maka kita akan semakin dihargai.
Militan Dalam Menjalankan Tugas
Darah muda yang dimiliki para pembelajar umumnya begitu bergelora. Mereka begitu antusias saat ada kegiatan-kegiatan yang memerlukan effort ekstra.
Saat ada kegiatan sekolah seperti lomba dekorasi antar kelas misalnya, tidak sedikit yang bersedia untuk begadang hingga larut malam atau bahkan sampai tidur di sekolah untuk memastikan hasil yang terbaik dan mampu tampil sebagai pemenang dibandingkan kelas-kelas yang lain.
Demikian juga dengan para aktivitas organisasi yang berani turun ke jalan untuk menunaikan aksi memprotes pemerintah. Mereka bahkan tidak segan menerima peringatan dari petinggi kampus. Dedikasi waktu mereka cukup luar biasa.
Hal ini biasanya membuat "mantan" pelajar yang aktif dalam organisasi semasa pendidikan relatif lebih cepat mendaptkan pekerjaan saat interview dengan beberapa perusahaan. Pesona mereka lebih terlihat ketimbang mereka yang lebih banyak menghabiskan waktu fokus sepenuhnya pada studi dan melupakan kegiatan lain di dunia pendidikan.
Bagaimanapun juga proses selama masa pendidikan tidak melulu tentang teknis mata pelajaran, tetapi juga hal-hal lain yang sifatnya soft skill. Mereka yang terbiasa aktif dalam kegiatan diluar sokuf studi umumnya memiliki pandangan yang lebih luas dan cekatan dalam menuntaskan masalah. Mereka ini tidak canggung untuk berdedikasi lebih serta loyal terhadap pekerjaan yang dijalaninya.
Hal-hal yang Perlu Dihilangkan :
Kebiasaan Begadang dan Tidur Terlalu Malam
Satu hal yang paling identik dengan seorang pelajar adalah mereka seringkali lupa waktu untuk istirahat. Mungkin karena kepentingan mengerjakan tugas-tugas mata pelajaran, rapat organisasi, nongkrong bersama teman-teman, atau sekadar main game bareng-bareng.Â
Semasa saya kuliah dulu jam paling sore untuk istirahat adalah pukul 12 malam. Apalagi tinggal di kos-kosan. Terasa aneh saat tidur sekitaran jam 9 atau 10 malam. Terkecuali mungkin saat ada jam kuliah pagi biasanya menyempatkan diri untuk tidur lebih cepat. Tapi intensitasnya itupun bisa dihitung dengan jari.
Saat memasuki dunia kerja suasana terasa sangat berbeda. Keharusan untuk masuk pagi (jam kerja non shift atau shift 1) sangat berisiko membuat kita ngantuk dan kurang konsentrasi selama bekerja apabila malam sebelumnya dipakai untuk begadang. Bahkan tidak sedikit yang telat masuk kerja oleh karenanya.
Masalahnya, dunia kerja sangat berbeda dengan dunia sekolahan. Ini dunia profesional dimana kita dibayar dan bukan membayar untuk menjalaninya. Kita tidak bisa semaunya sendiri. Ada peraturan di lingkungan kerja yang mesti diikuti. Kalau akibat sering begadang lantas hal itu membuat kinerja kita memburuk, maka tentu kita tidak bisa membiarkannya terus terjadi.
Sistem Kebut Semalam (SKS) dalam Mengerjakan Tugas atau Pekerjaan
Sudah bukan rahasia umum kalau tidak sedikit dari para pelajar yang baru menuntaskan Pekerjaan Rumahnya (PR) beberapa waktu menjelang deadline pengumpulan. Seperti semalam sebelumnya atau bahkan beberapa jam sebelum waktu berakhir. Selain itu, saat menjelang ujian semester pun waktu belajar yang dilakukan juga seringkali mepet menjelang ujian dilakukan.
Sistem Kebut Semalam (SKS) merupakan sebutan populer yang melekat bagi sebagian peserta didik khususnya mahasiswa. Menjadikan semuanya serba dadakan dan "menghasilkan" The Power of Kepepet. Biarpun hasilnya tidak selalu bagus dan sesuai harapan, akan tetapi kebiasaan itu masih terus dilakukan secara "turun-temurun".
Lantas apakah kita akan menerapkan kebiasaan serupa di lingkungan pekerjaan yang kita jalani? Seharusnya tidak. Konsekuensi dari pekerjaan yang dikejar serba dadakan tentu memiliki risiko tinggi. Mulai dari kekurangcermatan hingga potensi kegagalan yang cukup besar.
Misalnya saat perusahaan hendak melakukan audit sertifikasi tapi hal itu baru dipersiapkan dalam waktu yang sangat singkat. Hasilnya tentu akan sangat tidak baik dan bisa jadi ada banyak sekali syarat kelengkapan yang gagal dipenuhi.
Audit pun gagal dan setifikasi terbang dari genggaman. Jikalau hal itu sampai maka siapa yang paling merana? Jajaran direksi pasti marah besar dan omset perusahaan bisa tergerus karenanya. Pada akhirnya kita pun terkena imbas pemotongan gaji atau sejenisnya.
Melakukan yang "Itu-itu" Saja alias Kurang Kreatif dan Inovatif
Bagi anak sekolahan, khussnya sampai taraf SMA umumnya menjalani hari-hari yang terus berulang dari hari ke hari. Senin sampai sabtu berangkat sekolah masuk jam 7 pagi pulang jam 2 siang. Mengikuti beberapa mata pelajaran dengan setiap jam 9 istirahat untuk rehat sejenak.
Hari Senin mengikuti mata pelajaran ini, hari Selasa mengikuti mata pelajaran itu, hari Rabu mengerjakan ini, hari Kamis mengerjakan itu, dan lain sebagainya. Setiap beberapa bulan tertentu menjalani ujian dan pembagian raport. Pada akhir tahun ajaran diputuskan naik atau tinggal kelas. Terkesan monoton dalam beberapa hal.
Meskipun semasa kuliah situasinya cukup banyak berubah mengingat pola pembelajaran yang sedikit berbeda, namun kebiasaan lama untuk menjadi monoton itu tidak serta merta hilang dari diri seseorang. Saat memasuki dunia kerja tidak sedikit dari kita yang merasa cukup dengan apa yang bisa kita lakukan sekarang dan merasa tidak perlu ada banyak perubahan. Padahal hal ini menyimpan risiko yang besar di kemudian hari.
Seorang pekerja yang hanya terpaku pada satu hal dan terikat dengan zona nyamannya akan tertinggal dalam banyak hal. Ketika pekerja yang lain sudah mengembangkan keterampilan lain, sedangkan kita masih berkutat pada kebiasaan lama kita, maka hal itu membuat kita tertinggal beberapa langkah dari yang lain.
Saat ada gerakan perubahan bukan tidak mungkin kita akan menjadi orang yang tersingkirkan atau tidak dilirik samasekali. Ketika dihadapkan pada situasi diluar kebiasaan hal itu justru membuat kita marah, panik, dan tidak tahu mesti berbuat apa. Dalam dunia kerja menjadi dinamis dan kreatif itu perlu akan kita senantiasa menjadi sosok yang terus dibutuhkan.
Terlalu Teoritis, Teknikal, dan Kurang Memperhatikan Aspek Emosi
Tidak sedikit yang mengatakan bahwa di dunia kerja itu pengetahuan akademis hanya berperan paling banyak 20% saja. Hal-hal diluar itu justru lebih berperan.
Sesuatu yang menyangkut sisi emosi dan keterampilan diluar pengetahuan teknis. Mengetahui teknis memang sebuah keharusan, namun harus ditunjang dengan wawasan lain seperti cara mempengaruhi orang lain, berkomunikasi, memilih momen yang tepat, dan bertindak fleksibel.
Mengingat semua kemungkinan bisa saja terjadi, maka kekauan dalam menghadapi kondisi justru bisa membuat suasana semakin tidak menguntungkan. Adakalanya kita mesti membuat kompromi dengan beberapa orang didalam pekerjaan supaya hasil akhir tetap tercapai sesuai harapan.
Pengetahuan teknis memang dianggap perlu, namun lebih banyak orang berhasil dalam menjalani karir bukan karena pengetahuan teknisnya semata. Pemahaman sisi non teknis bisa dibilang tidak kalah penting atau mungkin jauh lebih penting. Hal ini perlu diasah dari waktu ke waktu.
Lingkungan pendidikan formal sepertinya kontribusinya relatif sedikit, masih lebih banyak berkutat dalam teknis. Untuk itu kita harus tetap menjadi pembelajar dalam lingkungan kerja terutama menyangkut aspek-aspek non teknis ini supaya perjalanan karir kita menjadi jauh lebih baik.
Beberapa hal tadi merupakan cerminan dari sebuah lingkungan dinamis yang penyikapannya tidak bisa disamaratakan. Kita harus memandang sesuatu dengan sudut pandang baru yang sekiranya mampu membuat kita tetap eksis disana.
Jangan memaksakan diri untuk melihat dengan cara lama karena perubahan adalah suatu kepastian. Terbuka terhadap perubahan dan tetap mencari celah untuk menempatkan diri dalam segala situasi dan kondisi. Selamat mengejar pencapaian karir terbaik kita.
Salam hangat,
Agil S HabibÂ