Sebuah candaan yang dulu dipopulerkan oleh almarhum Gus Dur mendadak ramai diperbincangkan. Gara-garanya seseorang yang mengangkat kembali candaan "3 Polisi Jujur" diciduk oleh polisi. Meski dalam bahasa pihak kepolisian hanya dilakukan klarifikasi, hal itu sudah menciptakan kesan bahwa pejabat publik negeri ini terlalu sensitif menyikapi sebuah candaan.Â
Sebelumnya, stand up comedy-an Bintang Emon  diteror oleh sekelompok orang setelah ia mengkritisi dengan gaya khas komika perihal tuntutan ringan Jaksa Penuntut Umum (JPU) terkait kasus penyiraman air keras Novel Baswedan. JPU yang memancing "kelucuan" itu seakan membuat dunia hukum tanah air seperti dagelan. Pada satu sisi sindiran ringat dianggap serius, tapi kasus pelanggaran serius dipandang ringan bahkan dinilai tidak memenuhi unsur kesengajaan. Sungguh sebuah kelucuan yang tidak lucu.
Teringat kalimat bijak dari grup Warkop DKI. Tertawalah sebelum tertawa itu dilarang. Kalimat itu populer di era order baru. Era yang dikenal sebagian orang membatasi ekspresi publik. Tapi mereka toh masih bisa kritis di tengah kelucuannya. Kok ini yang membuat candaan sampai harus diklarifikasi? Apalagi untuk memastikan niatan dibalik candaan itu.Â
Orang jujur biarpun dicurigai tidak jujur tetap akan bertahan dengan kejujurannya karena kejujuran tidak berkaitan dengan tudingan tidak jujur. Kalau memang jujur iya syukur, tidak perlu repot-repot tersinggung. Publik juga bisa menilai siapa yang jujur dan siapa yang tidak. Kalau mau pembuktian yang mungkin harus dihadapan pengadilan. Asalkan pengadilannya juga tidak menampilkan kelucuan lain.
Sepertinya bangsa ini menjadi lebih mudah tersinggung, sensitif, dan responsif terhadap kritik. Katanya negara demokrasi. Demokrasi apa? Mungkin benar kata Bung Fadli Zon bahwa demokrasi kita adalah demokrasi abal-abal. Sampai-sampai membuat candaan saja harus berurusan dengan pihak berwajib.Â
Sedikit-sedikit main lapor, sedikit-sedikit main tangkap, sedikit-sedikit somasi, dan sebagainya. Kebenaran dan integritas itu butuh bukti, bukan pengakuan kata-kata. Apakah ini efek dari kurang dewasanya kita dalam menyikapi segala sesuatu? Atau jangan-jangan kita ini masih belum siap berdemokrasi?
Saya cukupkan dulu tulisan ini. Semoga tulisan ini tidak dikategorikan sebagai bentuk penghinaan juga.
Salam hangat,
Agil S HabibÂ
Refferensi :
[1]