Mohon tunggu...
Agil Septiyan Habib
Agil Septiyan Habib Mohon Tunggu... Freelancer - Esais; Founder Planmaker99, dapat Dikunjungi di agilseptiyanhabib.com

Think Different, Create Excellent

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pak Jokowi (Mungkin) Sedang Ingin Melucu

23 April 2020   11:26 Diperbarui: 23 April 2020   11:35 350
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tawa Presiden Jokowi | Sumber gambar : redaksiindonesia.com

Pandemi COVID-19 menghadirkan sisi lain yang terkadang membuat kita geleng-geleng kepala. Seperti yang baru-baru ini viral yaitu terkait pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang menyebut bahwa antara "mudik" dan "pulang kampung" itu berbeda saat diwawancana secara eksklusif oleh Najwa Shihab. Meski sebenarnya pertanyaan yang diajukan oleh Najwa Shihab adalah terkait sudah begitu banyaknya warga yang pulang kampung sebelum larangan mudik disampaikan baru-baru ini. Sekitar 1 juta orang sudah mencuri start mudik. Akan tetapi hal itu justru disangkal oleh presiden dan menyebut ada perbedaan antara mudik dan pulang kampung. Sontak hal ini pun mengundang atensi banyak orang. Kebanyakan menertawai pernyataan presiden. Mungkin kebanyakan orang menyebut presiden sedang "ngibul" atau sekadar mencari-cari alasan pembenaran perihal baru diumumkannya larangan mudik bagi para perantau. Namun sepertinya ada sisi lain yang lepas dari perhatian kita. Presiden Jokowi sepertinya sedang melucu. Beliau ingin menciptakan tawa bagi warganya yang sudah terlalu penat oleh pandemi COVID-19.

Alasan "ngibul" atau sekadar mencari pembenaran atas "keterlambatan" mengeluarkan kebijakan larangan mudik bisa jadi benar adanya. Pertama, Luhut Binsar Pandjaitan sebelumnya menyampaikan istilah "strategi militer" dibalik baru diumumkannya larangan mudik. Beberapa kalangan menilai keputusan tersebut terlambat karena sudah ada begitu banyak warga negara yang mudik ke kampung halamannya. Hanya saja Plt Menteri Perhubungan itu beranggapan bahwa ada tahapan kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah supaya masyarakat tidak kaget. Pada awalnya pemerintah menghimbau agar mudik tidak dilakukan. Seiring waktu setelah makin banyaknya orang pulang ke kampung halaman, istilah "menghimbau" berganti menjadi "melarang". Dan kini per 24 April 2020 larangan mudik resmi diberlakukan. Menurut Luhut, tahapan dari menghimbau ke melarang adalah seperti halnya strategi militer. Dipersiapkan dan dikondisikan agar tidak kaget. Paling tidak itulah menurut versi pemerintah. Padahal tidak bisa dipungkiri terlanjur banyak warga yang mudik ke kampung halamannya masing-masing. Najwa Shihab menyebut 1 juta orang. Tetapi tidak menutup kemungkinan jumlahnya jauh lebih besar dari itu. Pengandaian ala strategi militer adalah "jurus ngibul" yang pertama.

Kedua adalah penyampaian beda makna antara mudik dan pulang kampung yang disampaikan Presiden Jokowi. Orang awam pun tahu kalau mudik dan pulang kampung itu memiliki makna yang sama. Kalaupun ada yang berbeda, itu hanya pada tulisannya. "Mudik" terdiri atas lima suku kata, M-U-D-I-K. Sedangkan "Pulang Kampung" terdiri atas dua belas suku kata, P-U-L-A-N-G-K-A-M-P-U-N-G. Sedangkan maknaya sama. Lantas mengapa presiden menyebut dua istilah itu berbeda arti? Kemungkinan adalah karena pemerintah tidak ingin disebut terlambat dalam mengambil kebijakan melarang mudik setelah begitu banyak perantau yang mendahului "jadwal mudiknya".

Presiden kita memang unik dan terkadang mengutarakan pernyataan yang membuat orang mengernyitkan dahi. Entah karena bingung, kaget, terpukau, atau karena merasakan sensasi lain. Terkait pernyataan mudik dan pulang kampung, mari kita anggap hal itu sebagai "guyonan" ala presiden untuk warganya. Kita yang belakangan ini pusing memikirkan ekonomi akibat efek COVID-19 setidaknya bisa sedikit terhibur karenanya. Pemerintah sudah mengupayakan kebijakan untuk menanggulangi pandemi ini. Semoga bisa berdampak positif untuk meredam COVID-19 di Indonesia.

Perihal larangan mudik sendiri, kita berharap penjabaran dari aturan itu benar-benar representatif terhadap keadaan. Tidak asal pukul rata kebijakan tanpa memperhatikan realitas di lapangan. Ada banyak hal yang mesti diperhatikan. Seperti orang-orang yang bekerja lintas wilayah, apakah mereka yang bekerja Pulang -- Pergi (PP) melewati batas wilayah lantas disebut bagian dari mudik atau seperti apa. Hal ini penting mengingat ada banyak sekali warga kita yang menjalani rutinitas dalam lintas batas. Semoga pemerintah bijak terkait hal ini. Bukan kembali melucu.

Salam hangat,

Agil S Habib 

Refferensi :

[1]; [2]; [3]

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun