Pertama, gaji. Penghasilan yang didapat oleh Belva sebagai stafsus mungkin terbilang besar, sekitar Rp 51 juta per bulan. Namun bila dibandingkan dengan potensi pundi-pundi finansial yang dimiliki sebuah perusahaan startup seperti Ruang Guru nilai sebesar itu bisa jadi tidak ada apa-apanya. Sumber pendanaan yang dimiliki Ruang Guru dari para investor sangatlah luar biasa. Angkanya mungkin bisa bermilyar-milyar.Â
Pada akhir tahun 2019 lalu saja valuasi yang dimiliki Ruang Guru diperkirakan mencapai US$ 500 juta. Menilik jabatannya sebagai CEO, tentu akan banyak keuntungan finansial yang diperoleh Belva apabila perusahaannya tersebut berkembang semakin pesat. Sekadar informasi, saat ditinggalkan Nadiem Makarim valuasi Gojek sudah tembus US$ 10 miliar.
Kedua, tingkat kontribusi. Menjadi CEO perusahaan rintisan teknologi atau menduduki posisi di pemerintahan sebagai menteri atau stafsus tentu sama-sama memiliki kontribusi manfaat bagi banyak orang. Kita tidak perlu menjabarkan seperti apa manfaat yang ditebar oleh Gojek ataupun Ruang Guru kepada masyarakat.Â
Dalam hal ini mungkin Nadiem menganggap posisinya sebagai Mendikbud jauh lebih berpotensi untuk turut berkontribusi membangun bangsa dibanding ketika ia tetap berada di Gojek. Sebaliknya, Belva mungkin menganggap Ruang Guru lebih bisa berperan untuk menunaikan gagasan besar yang dimilikinya terkait upaya membangun bangsa. Meski sebenarnya setiap penilaian itu bisa saja berlaku relatif untuk setiap orang. Akan tetapi pilihan yang diambil oleh Nadiem dan Belva patut untuk diapresiasi.
Ketiga, manajemen dilema. Belva memang memiliki kekhawatiran terkait adanya kecurigaan konflik kepentingan antara posisinya sebagai stafsus dan sebagai CEO Ruang Guru. Nadiem Makarim-pun meski sudah menyatakan tidak turut campur urusan Gojek masih beberapa kali dicurigai sebagian pihak turut memiliki kepentingan dalam beberapa program kebijakan pemerintah.Â
Seperti yang terjadi beberapa waktu lalu terkait cara pembayaran uang sekolah yang diusulkan agar dilakukan via aplikasi saja. Nadiem yang pernah mengomandoi Gopay tentu turut "tersindir" di sini. Apalagi posisinya sebagai Mendikbud memang berpotensi untuk itu. Berada di pemerintahan tapi memiliki afiliasi dengan perusahaan pribadi mau tidak mau pasti akan memicu kecurigaan.Â
Nadiem Makarim, biarpun sudah mundur dari Gojek saja masih tetap mendapatkan kecurigaan itu. Karena biarpun Nadiem sudah mundur secara struktural, minimal ia tetap memiliki hak atas perusahaan tersebut. Sehingga sepertinya langkah yang ditempuh Belva menjadi pilihan yang jauh lebih aman untuk menangkal kecurigaan permainan kepentingan. Belva kini menjadi warga biasa yang tidak terikat oleh sumpah jabatannya sebagai bagian dari petugas publik. Belva telah melepas dilema yang menghinggapi.
Sebuah pelajaran berharga tentunya bagi para stafsus milenial presiden yang lain dalam mengemban amanah. Mereka rentan mengalami perlakuan dan pandangan yang tidak semestinya. Apalagi yang memiliki latar belakang bisnis seperti Belva Devara.Â
Andi Taufan sudah merasakan betapa derasnya atensi publik kepada mereka. Salah sedikit bukanlah alasan yang bisa dilagukan ke hadapan mayarakat. Andi bahkan sudah merasakan derasnya desakan untuk mundur dari jabatannya sebagai stafsus. Sejauh ini ia masih bisa bertahan.Â
Bagaimanapun juga kita semua pasti memiliki kepentingan, tinggal mengatur prioritasnya saja. Sama seperti orang yang ingin menikah boleh satu atau berpoligami. Diizinkan tapi dengan syarat harus bisa adil. Apakah para stafsus milenial kita bisa berlaku adil atas jabatannya?
Salam hangat,