Harga minya dunia menyentuh level US$ 19.34/barel. Tergolong murah. Terlebih apabila hal itu dibandingkan dengan harga minyak dunia kala Indonesia masih dipimpin oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang sempat mencapai US$ 100.01/barel pada tahun 2008 lalu. Melihat harga Bahan Bakar Minyak (BBM) seperti Pertamax tahun 2008 yang "hanya" kisaran Rp 8.300,- per liter dan tahun 2020 menjadi sekitaran Rp 9.000,- per liter. Di satu sisi harnya minya dunia dari tahun 2008 ke 2020 adalah turun, tetapi disisi lain harga BBM seperti pertamax trennya adalah naik harga. Mengapa? Mungkin ada yang menjawab bahwa penyebabnya adalah inflasi. Tapi apakah memang sepenuhnya seperti itu? Coba buat perhitungan yang perbandingannya beberapa waktu lalu ketika harga minyak dunia tidak semurah sekarang. Pemerintah masih "anteng" saja membiarkan harga BBM seperti sebelumnya. Harga minya dunia naik, harga BBM naik. Harga minya dunia turun, harga BBM turun?
Sedari dulu hingga sekarang, BBM seringkali menjadi alat politis yang rentan sekali untuk dipelintir guna mendukung kepentingan segelintir elit. Termasuk halnya dengan harga minyak dunia. Murah tidaknya harga minyak saat ini lebih karena "permainan" pasokan segelintir korporasi yang memang menjadi pemain utama bidang ini. Negara-negara yang tidak memiliki keuntungan Sumber Daya Alam (SDA) berupa minyak bumi hanya akan menjadi penonton saja, lebih jauh menjadi objek permainan penguasa minyak global. Sayangnya, Indonesia termasuk sebagai negara yang harus menerima getir pahit atas hal ini. Bukan penentu, tapi penerima imbas.
Beberapa tahun terakhir pemerintah cenderung kurang ramah terkait pemberian subsidi kepada masyarakat. Sudah beberapa kali subsidi ini itu ditarik. Harga BBM dan Tarif Dasar Listrik (TDL) pun turun mengalami kenaikan akibat hal ini. Terkesan lebih mudah untuk memutuskan harga naik ketimbang memutuskan harga turun. Mengapa? Mungkin kekurangan kreativitas. Mungkin cari mudahnya saja. Mungkin ingin mendidik rakyat agar tidak tergantung pada pemerintah. Mungkin.... Entah ada berapa banyak lagi kemungkinannya.
Salah satu alasan BBM tidak diturunkan harganya meski harga minyak dunia murah adalah anggapan bahwa rentang nilai penurunannya tidak terlalu signifikan. Selain karena banyak warga yang beraktivitas di rumah, industri juga banyak yang menghentikan operasinya. Benarkah demikian?
Bagaimanapun juga, banyak dari masyrakat kita yang sejauh ini masih masuk kerja. Hanya sebagian yang Work From Home. Sebagian yang lain di rumah karena kehilangan pekerjaannya. Yang masuk kerja tentu butuh memakai kendaraan. Umumnya sepeda motor. Sepeda motor butuh bensin.
Untuk membeli bensin atau BBM butuh uang. Saat situasi serba terbatas seperti sekarang, uang 500 perak saja begitu berarti. Penurunan harga BBM yang tidak seberapa pun begitu berarti. Terlebih jikalau hasilnya diakumulasikan selama beberapa waktu. Saya kira bukan jumlah yang sedikit.
Para pelaku bisnis rumahan yang berupaya menjajakan barang dagangannya tentu butuh beraktivitas kesana kemari untuk belanja bahan baku atau barang lain untuk kemudian dijual. Mereka tentu tidak pergi jalan kaki. Belum lagi angkutan umum yang masih tetap beroperasi biarpun dalam situasi PSBB. PSBB bukan lockdown. Kalau semua orang diminta tetap tinggal di rumah dan larangan ketat untuk keluar rumah, itu berarti lockdown. Dan kalau lockdown artinya pemerintah harus menanggung semua kebutuhan rakyatnya. Â
Terkadang tidak ada salahnya pemerintah memberikan keringanan kepada warganya untuk menikmati harga BBM yang lebih murah. Paling tidak ditengah situasi pandemi hal itu bisa sedikit meringankan beban pengguna BBM supaya mengeluarkan uang yang lebih kecil dari biasanya. Pertanyaannya, sudikah?
Salam hangat,
Agil S HabibÂ
Refferensi :
[1]; [2]; [3]; [4]; [5]; [6]; [7]; [8]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H