Keinginan untuk resign barangkali perlu ditinjau ulang apabila hal itu akan dilakukan dalam waktu dekat. Apapun alasan yang melatar belakanginya. Entah itu tawaran gaji yang lebih baik, suasana kerja yang tidak nyaman, dan lain sebagainya.Â
Jikalau karena tawaran gaji, maka kondisi ekonomi yang sulit membuat hal itu penuh risiko. Apalagi jikalau statusnya masih berstatus percobaan atau kontrak. Sedangkan apabila karena suasana kerja yang dirasa tidak nyaman, hal itu sebenarnya masih bisa diusahakan untuk diperbaiki. Lebih baik bertahan dalam suasana yang tidak nyaman tapi tetap memiliki penghasilan aman ketimbang memenuhi ego dan emosi tapi riskan dengan masalah ekonomi yang lebih besar.Â
Semuanya adalah tentang skala prioritas. Prioritas apa saat ini yang dirasa paling penting untuk dilakukan, itulah yang mesti kita upayakan. Jikalau kondisi kerja tidak terlampu "buruk", alangkah baiknya apabila kita menunda niatan untuk resign tersebut sampai semuanya kembali kondusif.
Beberapa waktu lalu beredar pemberitaan tentang tingginya angka pengangguran di negara maju seperti Amerika Serikat (AS). Bahkan jumlahnya mungkin yang paling tinggi sepanjang sejarah sejak depresi besar yang dialami negara tersebut tahun 1930 yang lalu. Dan semua itu "hanya" disebabkan oleh Covid-19.Â
Bayangkan, negara sebesar AS saja mengalami gangguan ekonomi sedemikian parah dan menciptakan pengangguran yang luar biasa besar. Situasi di negara kita tidak jauh berbeda dengan itu, sama-sama bermasalah secara ekonomi.Â
Sejauh ini kita hanya bisa berharap untuk terus bekerja dengan baik, menciptakan efektivitas dan efisiensi kerja yang tinggi, dan semoga kita semua bisa melalui ini semua dengan tangguh. Singkirkan hasrat resign itu sementara waktu ini. Fokuslah pada pekerjaan saat ini, dan terus berdoa.
Salam hangat,
Agil S HabibÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H