Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim atau Mas Nadiem kembali membuat terobosan kebijakan terkait proses distribusi dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang sebelumnya dilakukan oleh pemerintah pusat melalui pemerintah daerah kini akan diberikan secara langsung ke rekening sekolah-sekolah. Hal ini dilakukan supaya proses penyaluran dana BOS bisa berlangsung secara lebih efisien. Kebijakan baru ini diharapkan mampu mengurangi beban administratif pemerintah daerah dan juga agar mempercepat proses penyaluran dana ke sekolah.
Gebrakan kebijakan di dunia pendidikan sepertinya sudah dipegang teguh oleh Mas Nadiem semenjak beliau ditunjuk oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk mengisi pos kursi Mendikbud. Bahkan sebelumnya Mas Nadiem telah "mengumandangkan" Â gagasannya melalui program "Merdeka Belajar", yang mana didalamnya Mas Nadiem mengutarakan empat poin penting perihal perubahan penyelenggaraan Ujian Sekolah Berbasis Nasional (USBN), penghapusan Ujian Nasional (UN), penyederhanaan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), serta penyesuaian terkait sistem zonasi. Pengutaraan gagasan ini sekaligus memenuhi janjinya bahwa ia akan berbuat sesuatu dalam 100 hari masa jabatannya.
Seratus hari pertama era pemerintahan Jokowi --Ma'ruf telah berlalu dan beberapa kementerian cukup banyak mendapatkan sorotan publik. Dari survei yang digelar oleh Indonesia Political Opinion (IPO), beberapa kementerian seperti Kementerian Agama dan Kementerian Hukum dan HAM mendapatkan sorotan tertinggi sebagai kementerian berkinerja terburuk. Yasonna Laoly selaku Menkumham mendapatkan suara tertinggi responden sebagai sosok yang paling harus di-reshuffle oleh Presiden Jokowi.
Selanjutnya menyusul nama Menteri Agama Fachrul Razi, Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G Plate, dan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo. Menariknya, pada urutan tertinggi kelima dari survei yang dilakukan oleh IPO terdapat nama sosok Nadiem Makarim. Keberanian Mas Nadiem untuk menghapus UN dinilai sebagai tindakan membuat kegaduhan sehingga dianggap tidak layak untuk meneruskan masa jabatannya. Padahal kebijakan menghapus UN ini cukup diapresiasi oleh banyak kalangan seperti Ketua DPRD Sulsel, Ikatan Guru Indonesia (IGI), dan beberapa civitas akademika di Indonesia.
Namun sepertinya beberapa apresiasi tersebut belum cukup mampu untuk memantik kepuasan publik perihal kinerja menteri termuda di Kabinet Indonesia Maju ini. Kalau mau jujur, dunia pendidikan kita memang begitu kompleks sehingga memerlukan penanganan yang luar biasa. Bahkan dalam sebuah kesempatan Mas Nadiem pernah mengutarakan bahwa ia tidak akan mempu mengubah tata pendidikan kita hanya dalam waktu lima tahun saja, apalagi dalam 100 hari.
Beliau sangat membutuhkan dukungan dari semua pihak untuk turut merevolusi pendidikan rakyat Indonesia. Dan hal itu hanya mungkin terjadi apabila semua pihak ikut bersinergi menuju tujuan tersebut. Paling tidak, dalam 100 hari pertama ini Mas Nadiem telah membuat sebuah gebrakan yang merubah alur pendidikan di tanah air. Setiap gebrakan seringkali tidak akan berjalan mulus di awal, butuh proses penyesuaian dari beberapa pihak yang terlanjur nyaman dengan status quo.
Dunia pendidikan sangatlah berbeda dengan yang lain. Ranah yang dikomadoi Mas Nadiem pun sangat berbeda dengan ranah kementerian yang lain. Ia menyangkut pos paling penting dalam suatu negara pun peradaban, yaitu Sumber Daya Manusia (SDM).
Sedangkan proses mengelola dan membangun SDM unggul tidaklah sama dengan mengelola mesin, Sumber Daya Alam (SDA), ataupun birokrasi. Mengelola manusia tidak bisa dilakukan secara instan karena dalam hal ini kita mengelola kecerdasan yang hidup. Butuh waktu lebih lama dari yang lain untuk memperoleh hasil sebagaimana diharapkan.
Oleh karena itu, sepertinya Presiden Jokowi mesti memberikan kesempatan lebih lama kepada Mas Nadiem untuk terus melanjutkan gebrakan-gebrakannya di dunia pendidikan tanah air. Dunia pendidikan kita saat ini masih membutuhkan penyegaran dari pola pikir disruptif yang dimiliki oleh Mas Nadiem.
Jangan sampai kita kembali mundur ke belakang dan menjalani pendidikan dengan pola lama. Lebih lanjut, Presiden Jokowi dan presiden-presiden selanjutnya harus bisa melanjutkan estafet pengelolaan pendidikan dari era sebelumnya sehingga pertumbuhan terus terus terjadi dari waktu ke waktu. Bukan memulai kembali dari awal pengelolaan pendidikan yang dilakukan dan menggantikannya dengan yang lain.
Selama ini, setiap kali ganti menteri dan ganti presiden berganti pula kebijakan terhadap dunia pendidikan kita. Lantas jika terus seperti ini bagaimana pendidikan di Indonesia akan berkembang?