Pasukan TNI Angkatan Laut (AL) kembali mengirimkan tambahan pasukan di perairan Natuna sebagai upaya menjaga kedaulatan wilayah laut Indonesia berikut mengusir kapal-kapal Cina yang masih "keras kepala" memasuki wilayah perairan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pelayangan protes sudah dilakukan secara resmi kepada pemerintah Cina tetapi respon yang diperoleh ternyata tidak sesuai harapan. Cina masih bersikukuh menganggap perairan Natuna sebagai bagian dari wilayah teritori mereka. Kata mereka, Indonesia suka atau tidak suka kapal Cina akan terus "mengunjungi" wilayah perairan tersebut.
Lantas pemerintah bisa apa jikalau protes mereka sudah diacuhkan seperti itu? Sebanyak apapun pasukan TNI AL yang dikerahkan ke perairan Natuna bisa jadi tidak berdampak apa-apa. Sekadar upaya intimidasi yang diharapkan bisa mengusir kapal asing "bandel". Situasi ini kemungkinan besar masih akan terus berlanjut apabila tidak ada langkah "radikal" yang ditempuh. Misalnya memberlakukan ancaman penenggelaman kapal yang masih membandel tidak mau pergi dari perairan Natuna atau melalui lobi tingkat tinggi oleh para tokoh negara seperti presiden atau bahkan (mantan) presiden terdahulu.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) baru-baru ini memberikan pernyataan bahwa tidak ada tawar-menawar terkait kedaulatan negara. Namun sekeras apapun pernyataan Presiden apabila tidak ditujukan secara langsung kepada negara atau pihak yang bersangkutan maka tidak akan menimbulkan reaksi apa-apa. Syukur-syukur apabila ada media yang men-translate pernyataan presiden tersebut kedalam bahasa Mandarin lantas kemudian berita tersebut dibaca oleh Presiden Xi Jinping. Itupun kalau Xi Jinping menanggapinya sebagai berita yang layak ditanggapi. Bagaimana kalau tidak?
Cara terbaik adalah menyampaikan maksud kita secara langsung kepada yang bersangkutan. Apabila cara protes yang dilakukan melalui pihak Kemeneterian Luar Negeri (Kemenlu) tidak membuahkan hasil sesuai harapan, maka level lobi harus ditingkatkan dan dilakukan oleh mereka yang berpangkat lebih tinggi. Saat ini Cina telah menjelma menjadi kekuatan baru dunia, yang artinya mereka juga memiliki nilai tawar tinggi berikut daya tekan yang besar terhadap negara-negara lain yang berhubungan dengannya.
Apakah nantinya kita cukup kuat melawan "gertakan" mereka saat melakukan diplomasi atau sebaliknya. Apabila sekadar melayangkan pernyataan keras dan tegas maka siapapun juga bisa. Yang diperlukan adalah sebuah sikap resmi kenegaraan yang melayangkan secara langsung rasa keberatan kita kepada pihak pemerintah Cina. Presiden Jokowi rasanya tidak perlu malu untuk meminta saran atau barangkali meminta secara khusus kepada Presiden ke-6 Republik Indonesia (RI), Bapak Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), agar menjembatani diplomasi dengan Presiden Xi Jinping terkait konflik Natuna.
Indonesia merupakan negara besar yang semestinya menunjukkan respon sebagaimana layaknya negara besar. Apabila memang kita saat ini tengah mengedepankan jalur diplomasi dalam rangka menuntaskan kasus Natuna maka kita juga harus benar-benar serius dalam melakukannya. Sejauh ini kita masih hanya sekadar melayangkan nota protes dan mengerahkan jumlah pasukan TNI AL yang lebih banyak.
Saat nota protes diabaikan dan kekuatan militer kita hanya dianggap angin lalu, maka diplomasi tingkat tinggilah yang diperlukan. Natuna terus akan menuai polemik apabila tidak dibuat kesepakatan yang diakui kedua belah pihak. Pemerintah Indonesia menyebut Cina telah melanggar perjanjian UNCLOS terkait Natuna. Sedangkan pihak Cina bersikukuh bahwa mereka tidak melakukan pelanggaran terhadap perjanjian itu. Siapa yang benar?
Dalam rangka meluruskan dan menyamakan persepsi agar tidak terjadi saling klaim diantara kedua belah pihak, maka pemerintah RI dan Cina mesti duduk satu meja dengan dijembatani oleh pihak netral yang tidak membawa kepentingan apapun terkait Natuna, Indonesia, ataupun Cina. Dengan demikian solusi bersama mungkin akan bisa diperoleh dan bisa mengakhiri konflik ini untuk selamanya.
Salam hangat,
Agil S Habib
Refferensi :