Selain revisi UU KPK dan juga adanya grasi terhadap koruptor, KPK harus menghadapi kenyadaan bahwa pemerintahan kedua Presiden Jokowi tidak menunjukkan semangat dalam memberantas korupsi. Sesuatu yang tercermin dari pidato presiden pasca dilantik menduduki periode kedua masa jabatan dimana kosakata korupsi tidak disinggung samasekali.
Jika kita perhatikan beberapa hal "sepele" lain mungkin kita akan menagkap gelagat bahwa pemberantasan korupsi di Indonesia tahun 2019 ini seperti tengah berjalan seorang diri. Penyidik KPK yang mengalami kedzaliman oknum misterius, Novel Baswedan, malah diberondong sikap "nyeleneh" politikus Putri Tanjung yang melaporkan dirinya ke polisi atas dugaan pembohongan publik.
Selain itu, ceramah keagamaan di institusi ini dimana Ustadz Abdul Shomad (UAS) menjadi penceramah juga dijadikan polemik.. Membuat KPK dikaitkan dengan radikalisme.
Sehingga wajar jikalau Agus Rahardjo menilai bahwa tahun 2019 adalah tahun yang berat bagi KPK. Namun apakah periode "berat" itu hanya akan terjadi tahun ini saja ataukah masih akan terus berlanjut pada tahun-tahun mendatang?
Hanya waktu yang bisa menjawabnya. Namun kita harus tetap mencari cara untuk mengoptimalkan sekecil apapun peluang pemberantasan korupsi. Biarlah KPK dihadang sana sini, tetapi pemberantasan korupsi harus terus berjalan.
Gerakan Memberantas Korupsi dengan "Orang Dalam"
Wakil Ketua KPK, Alexander Marwata, dalam sebuah kesempatan mengungkapkan fakta bahwa pengungkapan kasus korupsi 80% diantaranya adalah peran dari pihak internal. Dengan kata lain kinerja KPK sangat didukung oleh adanya laporan ketidakberesan dari "orang dalam" instansi, institusi, atau korporasi yang bermasalah.
Berdasarkan laporan ini maka kemudian KPK akan melakukan investigasi ketidakberesan yang terjadi di suatu lembaga bermasalah hingga pada akhirnya mampu menungkap dalam kecurangan disana. Tanpa adanya dukungan dari orang dalam untuk kooperatif terhadap KPK maka akan banyak sekali hambatan dan kendala terhadap upaya pemberantasan korupsi ini.
Ditengah kurangnya keberpihakan beberapa pihak yang mendukung kinerja KPK memberantas korupsi, "orang dalam" adalah sebuah kesempatan yang harus benar-benar dioptimalkan. Keberadaan "orang dalam" membuat KPK tidak perlu susah payah membentuk tim intelejen khusus untuk menemukan titik rawan korupsi di beberapa lembaga.
Hanya saja persebaran "orang "dalam" ini harus diperluas mengingat masih banyaknya orang-orang dengan potensi serupa memiliki ketakutan atau kekhawatiran dalam menyampaikan ketidakberesan yang dilihatnya. Bahkan orang-orang seperti ini seharusnya mendapatkan insentif khusus dari KPK atas keberaniannya melaporkan dugaan kecurangan.
Berdasarkan prinsip pareto, sebuah hasil 80% merupakan kontribusi dari 20% saja. Artinya, 80% pengungkapan kasus korupsi itu adalah "jasa" dari 20% "orang dalam" yang berani mengungkapkan ketidakberesan yang mereka lihat. Namun untuk menjadi "orang dalam" itu tentu tidak mudah.