Kurikulum 1994, Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), Kurikulum 2013, Sistem Zonasi, hingga yang terbaru perihal gagasan kurikulum berbasis kolaborasi dan wacana hari kerja sekolah cukup 3 hari menjadi suatu pertanda bahwa sistem pendidikan di Indonesia dari dulu hingga sekarang masih terus mencari bentuk yang terbaik.
Kurikulum demi kurikulum berganti dan terus berganti. Hampir setiap kali ganti Presiden atau bahkan ganti menteri terjadi perbedaan pendekatan sistem pendidikan. Hal ini justru membuat gagasan pengembangan dunia pendidikan tanah air terkesan jalan ditempat dan output yang dihasilkan pun menjadi kurang optimal.
Terkadang kita latah untuk mengikuti pola pendidikan yang diterapkan bangsa lain tanpa memperhatikan kesiapan aspek-aspek pendukungnya. Padahal bisa jadi setiap bangsa memiliki karakteristiknya masing-masing sehingga hal itu harus diakomodasi oleh sistem pendidikan yang tepat.
Jangan-jangan bangsa kita tidak memahami karakteristik yang dimilikinya sendiri sehingga berdampak pada penentuan sistem pendidikan yang inkonsisten. Di beberapa negara maju seperti Finlandia dan Jerman, sistem zonasi sekolah diberlakukan dengan jaminan bahwa setiap sekolah benar-benar mumpuni di setiap wilayah untuk membentuk peserta didik yang berkualitas.
Sarana dan prasarana yang dimiliki setiap zona tidak jauh berbeda satu sama lain. Hal ini tentunya sangat mendukung bagi diberlakukannya sistem zonasi. Lalu bagaimana dengan kondisi di negara kita?
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) kita yang baru, Mas Nadiem Makarim, dalam beberapa kesempatan menyinggung tentang wacana kolaborasi, pemanfaatan teknologi, hingga konsep merdeka dalam belajar ataupun mengajar. Hal ini seakan menguatkan pandangan bahwa sistem pendidikan kita selama ini masih belum benar-benar dalam kondisi yang terbaik.
Belum lagi terkait dengan wacana penghapusan pelajaran bahasa Inggris di sekolah-sekolah pada tingkatan tertentu. Masih belum patennya kerangka sistem pendidikan yang mampu dijalankan dalam jangka panjang untuk lintas generasi presiden dan lintas generasi kementerian pendidikan menjadikan dunia pendidikan di negeri ini belum benar-benar mature.
Seharusnya sebuah sistem itu mengalami siklus introduction, growth, mature, hingga decline. Perubahan sistem atau improve terhadap sistem paling tepat dilakukan ketika ia mulai memasuki fase decline. Awal-awal memasuki fase itu menandakan bahwa sistem butuh penyegaran agar bisa beradaptasi terhadap perkembangan zaman.
Sayangnya, sistem pendidikan kita cenderung berubah lebih cepat dari yang seharusnya. Masih dalam tahap growth sudah berubah, bahkan baru dalam tahan introduction pun perubahan sudah dilakukan. Dengan kondisi seperti ini tidak mengherankan jika kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) kita pada masa mendatang cenderung diragukan.
Sejak bangsa ini mendeklarasikan kemerdekaannya, sebenarnya grand design ataupun cetak biru pendidikan Indonesia telah dirumuskan oleh para founding father. Ki Hajar Dewantara telah membangun sebuah konsep yang terkenal dengan sebutan Ing Ngarso Sung Tulodho, Ing Madyo Mangun Karso, Tut Wuri Handayani.
Inilah cara berfikir dan berperilaku para pelaku pendidikan. Ketiga hal tersebut adalah gagasan penting untuk diikuti para pengajar dan pelajar. Ketiganya adalah kunci pendidikan karakter yang belakangan ini terus diperbincangkan sebagai salah satu problematika bangsa.
Para pendiri bangsa ini cenderung ingin memulai semuanya dengan pembentukan sikap dan karakter manusia yang hebat serta berkualitas. Bagaimanapun juga, karakter yang hebat adalah bekal berharga untuk memperkaya wawasan keilmuan yang lain.
Dengan adanya rule yang jelas dari para bapak bangsa di masa lalu, lantas mengapa kita yang hidup di generasi setelahnya seolah tidak memiliki keyakinan dan komitmen untuk menerapkannya?
Jangan-jangan kita sendiri tidak yakin dengan cara pandang sistem pendidikan para bapak bangsa sehingga membuat kita mengarahkan "kiblat" pendidikan ke beberapa negara lain yang menurut kita memiliki kualitas pendidikan mumpuni. Selama ini kita seringkali membanding-bandingkan sistem pendidikan kita dengan beberapa negara lain diluar sana.
Barangkali sekaranglah saatnya bagi kita untuk menggali lebih kedalam diri kita sendiri sebagai sebuah bangsa. Kearifan apa yang kita miliki sebagai bangsa Indonesia, maka itulah yang perlu dikedepankan. Bangsa Jepang bisa maju mungkin karena mereka menyerap banyak ilmu dari negara-negara maju pasca Jepang luluh lantak oleh Bom Atom di Perang Dunia II.
Akan tetapi kebesaran Bangsa Jepang dapat terwujud lebih karena kekuatan karakter para Samurai yang mereka kombinasikan dengan wawasan internasional dari dunia luar. Pertanyaannya, apakah kita sudah melakukan cara serupa? Barangkali kita perlu mendesain sebuah sistem pendidikan berbasis kearifan lokal untuk mengakomodasi keanekaragaman bangsa ini.
Pendidikan di Indonesia sebenarnya tidak butuh sesuatu yang "neko-neko", cukup sebuah sistem pendidikan yang berkelanjutan dan konsisten dari waktu ke waktu, dari masa ke masa, dari satu presiden ke presiden lainnya, dan dari menteri pendidikan yang satu ke menteri pendidikan yang lain.
Pendidikan harus dikelola sebagaimana sebuah perlombaan lari estafet. Melakukan sinergi dan berkelanjutan hingga mencapai satu titik tujuan yang sama, pendidikan Indonesia yang maju, berkeadilan, dan menyejahterakan. Siapkah kita untuk itu?
Salam hangat,
Agil S Habib
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H