Jam istirahat kerja merupakan waktu yang rutin dipergunakan oleh pekerja atau karyawan kantoran untuk melepas penat dari rutinitas pekerjaan yang dijalani. Satu "ritual" wajib yang hampir selalu dilakukan pada setiap jam istirahat adalah menyantap makan siang.
Bagi kami yang bekerja di sebuah kawasan industri, tempat-tempat makan yang bisa disinggahi pada umumnya hanya yang "itu-itu saja". Kalaupun berpindah-pindah mungkin opsi yang bisa dipilih pun sangat terbatas. Biasanya, tempat makan yang paling umum tersedia di sebuah kawasan industri tidak lebih dari warung makan sederhana berkelas warteg.
Warteg memang seringkali dilabeli sebagai warung makan kelas pinggiran, menawarkan harga terjangkau, dan identik dengan golongan menengah kebawah. Apabila dibandingkan dengan restoran atau resto, warteg atau warung tegal ini bisa dibilang masih kalah kelas maupun prestise. Resto yang identik dengan pelayanan mewah, high class, dan eksklusif tentu berbanding terbalik kondisinya dengan warteg yang kita ketahui selama ini.
Satu-satunya keunggulan warteg dibanding restoran barangkali hanya pada harganya yang lebih murah. Sedangkan untuk rasa mungkin masih bisa diperdebatkan lagi diantara keduanya.
Berbicara tentang warteg, sebenarnya selama beberapa tahun terakhir laju dari bidang usaha kuliner ini terus mengalami perkembangan. Bukan hanya dalam skala lokal saja, akan tetapi sudah menjangkau pasar internasional. Kondisi ini dipengaruhi oleh semakin banyaknya perantau dari daerah-daerah yang menuju ke kota-kota besar, serta banyaknya Tenaga Kerja Indonesia (TKI) atau Tenaga Kerja Wanita (TKW) yang merantau ke luar negeri. Dalam rangka efisiensi biaya hidup, maka menyantap hidangan warteg dianggap sebagai cara yang paling ampuh untuk dilakukan.
GrabFood dan Peranannya dalam Bisnis Kuliner
Teknologi cukup memiliki andil dalam sebuah transformasi bisnis. Dulu kita mengenal tempat nongkrong sederhana bernama warkop atau warung kopi, sebuah tempat sederhana untuk menikmati secangkir kopi ataupun sajian "ringan" lain. Seiring waktu munculah warkop "gaya baru" yang mengusung tema kekinian, namun dengan sajian yang tidak jauh berbeda dengan warkop pada umumnya.
Barangkali kita sudah tidak asing dengan Warunk Upnormal, sebuah caf kekinian ala warkop pinggiran. "Kemasan" warkop yang lebih modern dipadukan dengan strategi pemasaran yang powerful dengan mengandalkan sosial media harus diakui cukup mendongkrak popularitas Warunk Upnormal sehingga digandrungi oleh banyak anak muda zaman now. Teknologi digital tidak bisa dipungkiri memiliki andil yang cukup besar dalam membangun stigma sebuah brand.
Hal ini juga yang sepertinya semakin dirasakan dampaknya oleh para pengelola warteg-warteg di berbagai wilayah di Indonesia, termasuk salah satunya warteg dimana biasa kami menikmati sajian makan siang sewaktu jam istirahat kerja. Warteg yang bisanya hanya disambangi oleh karyawan-karyawan di pabrik sekitar warteg kini semakin meningkat dengan adanya pembeli dari tempat jauh. Keikutsertaan "Warung Nasi Madiun Mbah Sarno Edi" dalam kemitraan GrabFood ternyata cukup memiliki andil besar dalam peningkakan jumlah pembeli di warteg tersebut.
Kami yang biasanya mendapati pengunjung warteg dengan jumlah yang biasa, tidak terlalu banyak, dan tidak terlalu antri. Kini berubah seiring mulai berdatangannya driver Grab yang ikut "nimbrung" melakukan pemesanan yang mereka terima dari aplikasi Grab. Warteg yang biasanya lengang kini emperannya mulai dijadikan tempat "nongkrong" para driver yang tengah asyik menunggu pesanan makanan dari para pengguna aplikasi GrabFood.
Boleh dibilang, keberadaan GrabFood cukup #SelaluBisa mengakomodasi penikmat masakan Warteg Mbah Sarno yang telah pindah kerja ke lokasi yang lebih jauh namun tetap ingin merasakan nikmatanya makanan disana. Selain itu jangkauan dari area penjualan makanan warteg pun kini juga semakin meluas. Tentunya ini memberikan peluang besar bagi pemilik atau pengelola warteg untuk meningkatkan omset penjualannya.