Mohon tunggu...
Agil Septiyan Habib
Agil Septiyan Habib Mohon Tunggu... Freelancer - Esais; Founder Growthmedia, dapat Dikunjungi di agilseptiyanhabib.com

Plan, Create, Inspire

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ketika Ceramah Keagamaan di Lembaga Negara Mulai Dipersoalkan

23 November 2019   11:27 Diperbarui: 23 November 2019   11:24 199
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa waktu lalu Ustad Abdul Shomad (UAS) mendapatkan kesempatan untuk mengisi ceramah di gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Tak pelak kontroversi pun menyeruak. UAS yang "dikategorikan" sebagai ulama dengan rekam jejak kontroversial itu kembali dipersoalkan. KPK yang mengundang beliau pun dicecar pertanyaan dari berbagai pihak. Terlebih baru-baru ini juga video ceramah UAS yang diunggah di youtube dengan konten ceramah bahwa catur haram juga ikut meramaikan perdebatan publik. Lengkap sudah. Ceramah keagamaan, khususnya yang dilakukan oleh lembaga negara pun kini menjadi sesuatu yang sensitif.

Mengapa belakangan ini agama selalu dijadikan alasan intoleransi, kontroversi, dan antipati? Apakah para pengisi kajian keagamaan yang tidak bisa menyampaikan materi ceramah secara santun ataukah pejabat publiknya yang memang paranoid dengan isi ceramah? Beberapa tahun lalu dan sebelum-sebelumnya kita hampir tidak pernah mendengar kasus aktivitas ceramah diusik, dipersoalkan, diperdebatkan, atau terlebih dibubarkan. Mengapa seperti tengah terjadi degradasi kerukunan beragama di negara kita tercinta ini?

Kita masih ingat beberapa waktu lalu Menteri Agama (Menag) Fachrul Razi mewacanakan larangan cadar serta celana cingkrang masuk ke gedung-gedung pemerintah. Kini pemuka agama yang berceramah di lembaga negara pun terbatas pada beberapa nama tertentu saja. Sekian nama ustad tidak mendapatkan rekomendasi untuk berbicara di hadapan pegawai pemerintah atas penilaian rekam jejak sang pembicara yang sering memantik kontroversi.

Sebenarnya apa yang berbeda antara pembicara agama sekarang dengan di masa lalu? Apa juga perbedaan antara pemerintah sekarang dengan pemerintah terdahulu? Yang menjadikan berbeda apakah pemahaman yang dimiliki ulama masa kini ataukah memang dari pemerintahnya yang semakin ketat memberikan batasan? Ulama, ustad, kyai, atau apapun sebutannya itu selama beberapa tahun terakhir ini mungkin memang terlihat berbeda dibandingkan masa-masa tahun 90-an. Dulu jarang sekali atau hampir tidak pernah ada yang mengharam-haramkan perkara ini itu terkecuali memang telah jelas dipahami khalayak umum seperti minuman keras (miras), narkoba, dan sejenisnya.

Apakah ulama zaman dulu tidak lebih pandai dan lebih tahu dari ulama masa kini? Apakah ustad-ustad sekarang memang lebih jago dibandingkan kyai di masa lalu? Untuk membandingkannya secara langsung memang sulit. Akan tetapi ada satu perbedaan yang cukup terlihat jelas disini, yaitu perihal kearifan dan kebijaksanaan dalam berbicara.

Sudah bukan sesuatu yang aneh jika sekarang kita menemukan pembicara keagamaan yang mengatakan ini itu haram, dia mereka kafir, dan seterusnya. Entah karena ingin menegakkan agama secara kaffah (menyeluruh), atau karena kurangnya pemahaman yang utuh sehingga hal itu pun menyulut lahirnya pernyataan-pernyataan yang memicu kontroversi publik. 

Ceramah-ceramah keagamaan yang sayogyanya menjadi media untuk belajar dan memperbaiki diri kini justru dipersalahkan sebagai media yang memicu intoleransi. Ironis? Mungkin lebih dari sekadar ironis. Harmoni beragama di negara kita kini telah semakin terusik. Siapa aktor utamanya? Sulit untuk menyebutkannya.

Kini kita hanya berharap bahwa masing-masing pihak untuk belajar dan menelaah kembali tentang kerukunan dan kondusivitas beragama yang pernah kita miliki dulu. Bagaimana guru-guru kita dimasa lalu menyampaikan kajiannya? Apakah sama dengan sekarang? Kita harus ingat bahwa ajaran agama yang dianut oleh masyarakat kita sekarang tidak serta merta masuk sebagaimana adanya dari sumbernya berasal.

Warisan budaya leluhur membuat para pendakwah di masa lalu mengemas ajaran tersebut dengan cara yang paling bersahabat untuk disampaikan kepada umat. Pendakwah di masa lalu lebih cerdas dalam melihat suasana masyarakat kita kala itu. Namun apakah sikap serupa juga dimiliki oleh pendakwah kita di masa kini?

Lalu bagaimana dengan sisi pemerintahnya? Sudah tugas pemerintah untuk selalu waspada dan menjaga kondusivitas di masyarakat. Terlebih dengan makin maraknya aksi teror dan radikalisme, hal itu pasti membuat kewaspadaan pemerintah semakin ditingkatkan. Hanya saja hal itu pun perlu untuk melihat situasi di masyarakat juga. Sesuatu yang rentan memicu gesekan di masyarakat perlu diminimalkan. Tidak bisakah kita bersinergi untuk keutuhan bangsa ini?

Salam hangat,

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun